Senin, 24 Agustus 2009

Salah Kaprah Soal Kekayaan (Bagian Ketiga)

Penghasilan Tinggi tidak sama dengan Kaya

Pada tulisan yang lalu, kita telah membedakan antara kekayaan dan kemewahan. Pada bagian ini terdapat kekeliruan besar yang menghinggapi kita dan juga banyak orang termasuk para pakar yang menyamakan antara “Penghasilan Tinggi” dengan “Kaya”.

Sebenarnya terdapat perbedaan yang mutlak antara “Penghasilan Tinggi” dengan “Kaya”. “Kaya” lebih kepada seberapa banyak aset yang anda miliki sedangkan “Penghasilan Tinggi” lebih kepada seberapa banyak uang masuk (cash inflow) yang bisa anda dapatkan. Perbedaan lainnya adalah bahwa “Penghasilan Tinggi” merupakan pemasukan bruto yang bisa anda dapatkan dalam satu periode waktu sementara “Kaya” adalah seberapa besar dari porsi penghasilan anda yang bisa anda tumpuk atau di putar untuk ke arah yang lebih produktif.

Dari sekian banyak pengalaman dan juga contoh di buku dan artikel Personal Finance, ternyata mereka yang memiliki “Penghasilan Tinggi” tidak menjadi jaminan kalau mereka otomatis “Kaya”. Sebaliknya, banyak pula mereka yang “Kaya” ternyata memiliki penghasilan yang tidak terlalu tinggi bahkan terbatas. Mungkin anda masih bingung dengan penjelasan saya. Berikut adalah dua contoh yang saya ambil dari tayangan di televisi.

Pada acara “Perfect Numbers”, yang dipandu seorang perencana keuangan terkenal Aidil Akbar, di O-channel sekitar pertengahan November 2008 menampilkan profil klien seorang perempuan eksekutif muda. Berusia hampir tiga puluhan dan berpendidikan Sarjana dari Universitas terkenal di Jakarta serta memiliki jabatan sebagai Account Manager Executive pada sebuah perusahaan media terkemuka di Jakarta. Memiliki penghasilan Rp 8 juta sebulan. Dari data ini sepintas anda pasti menduga bahwa perempuan ini orang kaya. Betul ?
Ternyata tidak ! Dengan penghasilan segitu, ternyata beliau masih kos disebuah kos sederhana di bilangan Jakarta Selatan. Belum punya rumah atau pun kendaraan pribadi. Baik roda dua atau roda empat. Kemana-mana masih naik bus dan taksi. Bahkan beliau masih punya cicilan tunggakan Kartu Kredit yang nilainya sebesar Rp 12 juta. Kalau sudah begitu, apakah beliau termasuk Kaya ? Tentu jawaban anda akan mengatakan “Tidak”.

Selanjutnya pada acara “Money Talk”, yang dipandu seorang perencana keuangan terkenal Safir Senduk, di Metro TV sekitar awal Juli 2007 menampilkan profil klien yang katanya cukup “sukses”. Profil yang ditampilkan adalah seorang Bapak dengan pendidikan terakhir Diploma 3, telah mengabdi selama 22 tahun sebagai Pegawai Negeri. Dengan pangkat golongan hanya III/b dan hingga sekarang masih menjabat sebagai staf. Beliau memiliki Gaji Pokok berikut Tunjangan Keluarga (waktu itu) hanya sebesar Rp 1,8 juta per bulan. Dari data ini sepintas anda pasti menduga bahwa si Bapak ini bukan orang kaya. Betul ?
Lagi-lagi anda salah ! Ternyata beliau memiliki aset kekayaan lebih dari Rp 5 milyar. Kekayaan tersebut berasal dari usaha bisnis kuliner, yang pada awalnya kecil-kecilan, dimana modalnya dikumpulkan dari gaji yang disisihkan setiap bulan selama hampir lima tahun. Bekerja sama dengan istri tercinta, kini beliau memetik hasil usaha setelah lebih dari 12 tahun berbisnis. Bisnis dibidang kuliner itu mulai menuai hasilnya. Dengan kekayaan sebesar itu beliau bisa pergi haji, membeli sebuah rumah yang cukup mewah di bilangan Jakarta Timur, punya kendaraan sendiri plus beberapa rumah kontrakan yang saat ini tengah berjalan. Kalau sudah begitu, apakah beliau termasuk Kaya ? Tentu jawaban anda akan mengatakan “Ya”.

Untuk contoh yang ketiga, saya menggunakan dari pengalaman saya sendiri. Saya mengenal Mas Suriyanto sejak tahun 2001. Saat ini beliau adalah pegawai honorer di Akademi Kepolisian Semarang. Dari informasi yang saya terima, beliau hanya digaji sebesar Rp 300 ribu per bulan (per tahun 2002). Terkadang, dalam beberapa kesempatan mendapatkan honor sebesar Rp 500 ribu setiap ada penugasan khusus. Penugasan ini bersifat tidak rutin. Namun paling tidak, selama satu tahun, beliau mendapatkan penugasan minimal sebanyak 5 kali. Dari data diatas, lagi-lagi anda pasti menduga kalau beliau bukan orang kaya. Betul ?
Lagi-lagi anda harus kecewa karena anda salah! Saat ini beliau memiliki dua buah warung yang cukup besar. Lengkap dengan barang-barang kebutuhan pokok yang dijual dengan harga murah. Warung tadi didirikan dari uang bagi hasil sebuah proyek pembangunan di Akademi Kepolisian pada tahun 1998, yang jumlahnya tidak seberapa. Kini, perputaran kedua warung tersebut hampir mencapai Rp 20 juta per bulan. Bahkan, salah satu warung beliau sempat disewa oleh perusahaan teh botol sebagai model iklannya. Tidak heran, jika saya berkunjung ke Semarang beliaulah yang memberikan saya ongkos dan akomodasi. Saat ini beliau telah mampu menguliahi kedua anaknya hingga jenjang sarjana. Memiliki sebuah rumah yang cukup besar di pusat kota Semarang dan beberapa buah motor. Kalau sudah begitu, apakah beliau termasuk orang kaya ? Tentu jawaban anda akan mengatakan “Ya”.

Dari tiga contoh ekstrem diatas, maka saya berani mengambil kesimpulan jika “Penghasilan Tinggi” tidak sama dengan “Kaya”. Bahwa anda dan saya bisa “Kaya” tanpa harus menunggu memperoleh “Penghasilan Tinggi”. Bahwa “Penghasilan Tinggi” ternyata bukan jaminan kalau anda bisa “Kaya”.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar