Jumat, 14 Agustus 2009

Salah Kaprah Soal Kekayaan (Bagian Pertama)

Awalnya saya merasa jengkel terhadap seorang teman. Saya menasehatinya untuk
berkurban mengingat Hari Raya Idul Adha pada waktu itu sudah semakin dekat.
Karena sudah dipromosikan dan mendapatkan take-home-pay lebih dari sepuluh juta
rupiah tiap bulannya tentunya sudah sewajarnya sebagai umat muslim untuk
berkurban. Akan tetapi ternyata saya mendapatkan jawaban yang sangat
mengagetkan.

"Saya belum mampu untuk berkurban", katanya. "Soalnya saya masih golongan dhuafa lhoo", katanya lagi sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Waktu itu saya cuma membatin. Masak sih, cuma untuk membeli seekor kambing
seharga ratusan ribu saja tidak mampu ? Tiba-tiba tanpa disadari timbul 'ujub
(sombong dikit tapi dosa - red) di dalam hati. Perasaan, saya saja yang
take-home-pay yang jauh dibawah dia masih mampu kurban dua ekor kambing. Masak dia yang melebihi saya ngaku gak mampu ? demikian kata saya dalam hati.

Nyatanya ketika Idul Adha berlangsung, teman saya memang tidak berkurban. Bahkan tiap Idul Adha semenjak itu tidak terdengar kabar apakah beliau berkurban atau tidak.

Namun, seiring berjalannya waktu membuat saya mulai berkenalan dengan
buku-buku dan artikel yang terkait dengan Personal Finance. Saya pun mulai bisa
memahami kondisi teman saya. Bahkan ternyata saya mulai mempercayai omongannya bahwa dia termasuk golongan dhuafa. Meskipun memiliki take-home-pay sebesar lebih dari tujuh digit (sepuluh juta rupiah keatas-red) telah diterimanya setiap bulan, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin, sekali lagi tidak, bahwa dia bukan termasuk golongan dhuafa. Lho kok bisa ?

Dengan lantang saya menjawab YA! Karena ternyata, makmur atau tidaknya seseorang atau dengan kata lain kaya atau tidaknya seseorang tidak diukur dari besar
kecilnya pendapatan atau penghasilan. Namun diukur dari seberapa efisien dan
efektif seseorang mengelola penghasilannya.

Anda masih bingung ? Saya yakin sekali diantara kita mungkin bingung. Saya pun pada awalnya demikian. Namun ketika saya mulai melakukan observasi disekitar saya, membaca buku dan artikel, serta melihat tayangan di televisi dan kemudian mempraktekan apa yang tertulis di buku-buku Personal Finance yang saya baca dan mulai menampakkan hasilnya pada tahun 2008 kemarin maka saya semakin yakin bahwa kaya atau tidaknya seseorang bukan tergantung dari besar atau kecilnya penghasilan.

Setelah merenungkan apa-apa yang saya dapatkan dari bacaan tersebut, ternyata
terjadi kesalahkaprahan soal kekayaan disekitar masyarakat kita. Tidak hanya
terjadi ditingkat masyarakat berpendidikan rendah tapi juga masyarakat
berpendidikan tinggi termasuk pula para pakar. Dan ternyata kesalahkaprahan ini
sudah sedemikian akutnya. Saya menduga, mungkin karena adanya kesalahkaprahan
yang akut itulah muncul budaya jalan pintas, entah lewat cara ilegal seperti
pungli dan korupsi maupun lewat cara irrasional seperti perdukunan dan
paranormal.

Apa sajakah kesalahkaprahan tersebut ? Berikut akan saya jelaskan
kesalahkaprahan tersebut di dalam tulisan-tulisan berikutnya.

Selamat membaca ! (Bersambung ...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar