Senin, 24 Agustus 2009

Salah Kaprah Soal Kekayaan (Bagian Ketiga)

Penghasilan Tinggi tidak sama dengan Kaya

Pada tulisan yang lalu, kita telah membedakan antara kekayaan dan kemewahan. Pada bagian ini terdapat kekeliruan besar yang menghinggapi kita dan juga banyak orang termasuk para pakar yang menyamakan antara “Penghasilan Tinggi” dengan “Kaya”.

Sebenarnya terdapat perbedaan yang mutlak antara “Penghasilan Tinggi” dengan “Kaya”. “Kaya” lebih kepada seberapa banyak aset yang anda miliki sedangkan “Penghasilan Tinggi” lebih kepada seberapa banyak uang masuk (cash inflow) yang bisa anda dapatkan. Perbedaan lainnya adalah bahwa “Penghasilan Tinggi” merupakan pemasukan bruto yang bisa anda dapatkan dalam satu periode waktu sementara “Kaya” adalah seberapa besar dari porsi penghasilan anda yang bisa anda tumpuk atau di putar untuk ke arah yang lebih produktif.

Dari sekian banyak pengalaman dan juga contoh di buku dan artikel Personal Finance, ternyata mereka yang memiliki “Penghasilan Tinggi” tidak menjadi jaminan kalau mereka otomatis “Kaya”. Sebaliknya, banyak pula mereka yang “Kaya” ternyata memiliki penghasilan yang tidak terlalu tinggi bahkan terbatas. Mungkin anda masih bingung dengan penjelasan saya. Berikut adalah dua contoh yang saya ambil dari tayangan di televisi.

Pada acara “Perfect Numbers”, yang dipandu seorang perencana keuangan terkenal Aidil Akbar, di O-channel sekitar pertengahan November 2008 menampilkan profil klien seorang perempuan eksekutif muda. Berusia hampir tiga puluhan dan berpendidikan Sarjana dari Universitas terkenal di Jakarta serta memiliki jabatan sebagai Account Manager Executive pada sebuah perusahaan media terkemuka di Jakarta. Memiliki penghasilan Rp 8 juta sebulan. Dari data ini sepintas anda pasti menduga bahwa perempuan ini orang kaya. Betul ?
Ternyata tidak ! Dengan penghasilan segitu, ternyata beliau masih kos disebuah kos sederhana di bilangan Jakarta Selatan. Belum punya rumah atau pun kendaraan pribadi. Baik roda dua atau roda empat. Kemana-mana masih naik bus dan taksi. Bahkan beliau masih punya cicilan tunggakan Kartu Kredit yang nilainya sebesar Rp 12 juta. Kalau sudah begitu, apakah beliau termasuk Kaya ? Tentu jawaban anda akan mengatakan “Tidak”.

Selanjutnya pada acara “Money Talk”, yang dipandu seorang perencana keuangan terkenal Safir Senduk, di Metro TV sekitar awal Juli 2007 menampilkan profil klien yang katanya cukup “sukses”. Profil yang ditampilkan adalah seorang Bapak dengan pendidikan terakhir Diploma 3, telah mengabdi selama 22 tahun sebagai Pegawai Negeri. Dengan pangkat golongan hanya III/b dan hingga sekarang masih menjabat sebagai staf. Beliau memiliki Gaji Pokok berikut Tunjangan Keluarga (waktu itu) hanya sebesar Rp 1,8 juta per bulan. Dari data ini sepintas anda pasti menduga bahwa si Bapak ini bukan orang kaya. Betul ?
Lagi-lagi anda salah ! Ternyata beliau memiliki aset kekayaan lebih dari Rp 5 milyar. Kekayaan tersebut berasal dari usaha bisnis kuliner, yang pada awalnya kecil-kecilan, dimana modalnya dikumpulkan dari gaji yang disisihkan setiap bulan selama hampir lima tahun. Bekerja sama dengan istri tercinta, kini beliau memetik hasil usaha setelah lebih dari 12 tahun berbisnis. Bisnis dibidang kuliner itu mulai menuai hasilnya. Dengan kekayaan sebesar itu beliau bisa pergi haji, membeli sebuah rumah yang cukup mewah di bilangan Jakarta Timur, punya kendaraan sendiri plus beberapa rumah kontrakan yang saat ini tengah berjalan. Kalau sudah begitu, apakah beliau termasuk Kaya ? Tentu jawaban anda akan mengatakan “Ya”.

Untuk contoh yang ketiga, saya menggunakan dari pengalaman saya sendiri. Saya mengenal Mas Suriyanto sejak tahun 2001. Saat ini beliau adalah pegawai honorer di Akademi Kepolisian Semarang. Dari informasi yang saya terima, beliau hanya digaji sebesar Rp 300 ribu per bulan (per tahun 2002). Terkadang, dalam beberapa kesempatan mendapatkan honor sebesar Rp 500 ribu setiap ada penugasan khusus. Penugasan ini bersifat tidak rutin. Namun paling tidak, selama satu tahun, beliau mendapatkan penugasan minimal sebanyak 5 kali. Dari data diatas, lagi-lagi anda pasti menduga kalau beliau bukan orang kaya. Betul ?
Lagi-lagi anda harus kecewa karena anda salah! Saat ini beliau memiliki dua buah warung yang cukup besar. Lengkap dengan barang-barang kebutuhan pokok yang dijual dengan harga murah. Warung tadi didirikan dari uang bagi hasil sebuah proyek pembangunan di Akademi Kepolisian pada tahun 1998, yang jumlahnya tidak seberapa. Kini, perputaran kedua warung tersebut hampir mencapai Rp 20 juta per bulan. Bahkan, salah satu warung beliau sempat disewa oleh perusahaan teh botol sebagai model iklannya. Tidak heran, jika saya berkunjung ke Semarang beliaulah yang memberikan saya ongkos dan akomodasi. Saat ini beliau telah mampu menguliahi kedua anaknya hingga jenjang sarjana. Memiliki sebuah rumah yang cukup besar di pusat kota Semarang dan beberapa buah motor. Kalau sudah begitu, apakah beliau termasuk orang kaya ? Tentu jawaban anda akan mengatakan “Ya”.

Dari tiga contoh ekstrem diatas, maka saya berani mengambil kesimpulan jika “Penghasilan Tinggi” tidak sama dengan “Kaya”. Bahwa anda dan saya bisa “Kaya” tanpa harus menunggu memperoleh “Penghasilan Tinggi”. Bahwa “Penghasilan Tinggi” ternyata bukan jaminan kalau anda bisa “Kaya”.

(bersambung)

Minggu, 23 Agustus 2009

Ramadhan..yaa.. Ramadhan

Akhirnya, tibalah kita dibulan suci yang sangat agung. Dibulan inilah Allah memberikan kenikmatan dan kesuksesan besar kepada umat Islam. Mulai dari kemenangan di perang Badar, penaklukan Andalusia, hingga proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sungguh beruntung mereka yang memanfaatkan datangnya bulan ini dengan penuh ibadah dan prestasi kerja, serta merugilah mereka yang mengisi bulan ini dengan malas-malasan dan minim prestasi.

Karenanya, mari kita beramal. Berlomba-lomba meningkatkan kapasitas menjadi yang terbaik. Sebarkan kebaikan sebanyak mungkin ke sebanyak mungkin orang lain. Meningkatkan kualitas keahlian dan kecakapan yang kita miliki. Hingga pada saat nanti, kita songsong akhir Ramadhan dengan kemenangan yang hakiki. Selamat menikmati sajian Ramadhan kali ini.

Di bulan penuh rahmat ini, pada blog ini akan muncul tulisan-tulisan yang inspiratif. Semoga saya berharap goresan keyboard yang ada di blog ini menjadi bagian dari amal saleh disisi Allah. Semoga pula akan menambah manfaat dan inspirasi bagi kita semua untuk menghasilkan karya-karya terbaik di Ramadhan tahun ini.

Selamat menjalankan ibadah shaum Ramadhan dan selamat menikmati sajian-sajian tulisan pada blog ini selanjutnya.

Wassalam,

Kamis, 20 Agustus 2009

Salah Kaprah Soal Kekayaan (Bagian Kedua)

Hidup Kaya tidak sama dengan Bermewah-mewahan

Pada bagian pertama, saya sudah menyinggung bahwa ada kesalahkaprahan yang begitu akut menyangkut masalah kekayaan. Namun demikian, saya sekali lagi menegaskan bahwa kaya atau tidaknya seseorang bukan tergantung dari besarnya penghasilan akan tetapi lebih tergantung seberapa efektif dan efisiennya seseorang menggunakan penghasilannya.

Saya Cuma menegaskan, perlu memisahkan antara hidup kaya dengan hidup bermewah-mewahan. Yang pertama adalah hak, karena setiap orang pada hakekatnya berhak untuk kaya. Sedangkan yang kedua adalah pilihan hidup. Bahkan dijaman sekarang, seseorang dapat hidup bermewah-mewahan meskipun bukan orang kaya. Lho kok bisa ?

Jawab saya, BISA SAJA ! Secara sederhana, dijaman sekarang sangat gampang mendapatkan fasilitas untuk berutang. Cobalah tengok di iklan yang ada di media massa baik cetak, televisi maupun radio. Bukankah penawaran utang sekarang ini sedang gencar-gencarnya ? Bukankah akibat mudahnya mendapatkan fasilitas utang, kalau kita berkunjung ke mall maupun pusat perbelanjaan selalu penuh dengan orang-orang ? Bukankah setiap musim liburan tempat-tempat hiburan selalu penuh ? Padahal kita semua tahu, bahwa krisis ekonomi di negeri ini belum pulih benar. Tapi setidaknya, jika memang ingin hidup bermewah-mewahan maka hal tersebut tentunya mudah sekali dilakukan pada jaman sekarang.

Seseorang yang hidup bermewah-mewahan akan menggunakan uang yang di dapat, entah dari penghasilannya maupun dari utang, untuk dibelanjakan barang-barang atau jasa yang semestinya tidak perlu namun dapat mendatangkan pujian atau minimal decak kagum dari orang lain yang melihatnya menggunakan barang dan jasa tersebut. Sementara seorang yang hidup kaya menggunakan uang yang di dapat pada barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan dan apabila berutang maka utang tersebut digunakan untuk sesuatu yang produktif. Tentu saja dari informasi ini, anda mulai mendapat gambaran bahwa hidup kaya bukan berarti harus bermewah-mewahan dan orang yang hidup bermewah-mewahan belum tentu kaya. Anda harus memahami bahwa anda punya hak untuk kaya namun untuk bermewah-mewahan adalah pilihan yang anda sendiri dapat memilih untuk mengambilnya atau tidak.

Adalah gambaran yang sesat dan keliru kalau kita menganggap bahwa kehidupan orang kaya identik dengan kemewahan. Mungkin apabila kita menengok pada masa kolonial dahulu, bahwa orang kaya identik dengan rumah yang besar dan luas, kendaraan yang mahal, perhiasan emas yang banyak, pakaian bagus dan sebagainya. Karenanya tidak heran kalau doktrin model kolonial ini merasuki pemikiran kita, yang, padahal sudah 64 tahun negeri kita ini mengenyam kemerdekaan. Sayangnya, entah kenapa, doktrin konyol seperti ini masih saja setia menggelayuti pikiran kita. Dan hal itu juga diwariskan kepada anak dan cucu kita.

Jadi bedakan antara kekayaan dan kemewahan. Tanpa hidup mewah pun anda bisa jadi orang kaya. Juga tanpa kekayaan pun anda bisa hidup mewah. Namun masalahnya manakah yang anda pilih ? Tentu, mereka yang masih waras akalnya dan bersih nuraninya akan meninggalkan hidup bermewah-mewahan.

(bersambung)

Jumat, 14 Agustus 2009

Salah Kaprah Soal Kekayaan (Bagian Pertama)

Awalnya saya merasa jengkel terhadap seorang teman. Saya menasehatinya untuk
berkurban mengingat Hari Raya Idul Adha pada waktu itu sudah semakin dekat.
Karena sudah dipromosikan dan mendapatkan take-home-pay lebih dari sepuluh juta
rupiah tiap bulannya tentunya sudah sewajarnya sebagai umat muslim untuk
berkurban. Akan tetapi ternyata saya mendapatkan jawaban yang sangat
mengagetkan.

"Saya belum mampu untuk berkurban", katanya. "Soalnya saya masih golongan dhuafa lhoo", katanya lagi sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Waktu itu saya cuma membatin. Masak sih, cuma untuk membeli seekor kambing
seharga ratusan ribu saja tidak mampu ? Tiba-tiba tanpa disadari timbul 'ujub
(sombong dikit tapi dosa - red) di dalam hati. Perasaan, saya saja yang
take-home-pay yang jauh dibawah dia masih mampu kurban dua ekor kambing. Masak dia yang melebihi saya ngaku gak mampu ? demikian kata saya dalam hati.

Nyatanya ketika Idul Adha berlangsung, teman saya memang tidak berkurban. Bahkan tiap Idul Adha semenjak itu tidak terdengar kabar apakah beliau berkurban atau tidak.

Namun, seiring berjalannya waktu membuat saya mulai berkenalan dengan
buku-buku dan artikel yang terkait dengan Personal Finance. Saya pun mulai bisa
memahami kondisi teman saya. Bahkan ternyata saya mulai mempercayai omongannya bahwa dia termasuk golongan dhuafa. Meskipun memiliki take-home-pay sebesar lebih dari tujuh digit (sepuluh juta rupiah keatas-red) telah diterimanya setiap bulan, akan tetapi hal tersebut tidak menjamin, sekali lagi tidak, bahwa dia bukan termasuk golongan dhuafa. Lho kok bisa ?

Dengan lantang saya menjawab YA! Karena ternyata, makmur atau tidaknya seseorang atau dengan kata lain kaya atau tidaknya seseorang tidak diukur dari besar
kecilnya pendapatan atau penghasilan. Namun diukur dari seberapa efisien dan
efektif seseorang mengelola penghasilannya.

Anda masih bingung ? Saya yakin sekali diantara kita mungkin bingung. Saya pun pada awalnya demikian. Namun ketika saya mulai melakukan observasi disekitar saya, membaca buku dan artikel, serta melihat tayangan di televisi dan kemudian mempraktekan apa yang tertulis di buku-buku Personal Finance yang saya baca dan mulai menampakkan hasilnya pada tahun 2008 kemarin maka saya semakin yakin bahwa kaya atau tidaknya seseorang bukan tergantung dari besar atau kecilnya penghasilan.

Setelah merenungkan apa-apa yang saya dapatkan dari bacaan tersebut, ternyata
terjadi kesalahkaprahan soal kekayaan disekitar masyarakat kita. Tidak hanya
terjadi ditingkat masyarakat berpendidikan rendah tapi juga masyarakat
berpendidikan tinggi termasuk pula para pakar. Dan ternyata kesalahkaprahan ini
sudah sedemikian akutnya. Saya menduga, mungkin karena adanya kesalahkaprahan
yang akut itulah muncul budaya jalan pintas, entah lewat cara ilegal seperti
pungli dan korupsi maupun lewat cara irrasional seperti perdukunan dan
paranormal.

Apa sajakah kesalahkaprahan tersebut ? Berikut akan saya jelaskan
kesalahkaprahan tersebut di dalam tulisan-tulisan berikutnya.

Selamat membaca ! (Bersambung ...)

Kamis, 13 Agustus 2009

Alasan Saya Tidak Ingin Ikut Bisnis Multi Level Marketing (MLM) Apapun Bentuknya

Selama perjalanan pengembaraan ini, saya berulang kali memperoleh tawaran untuk bergabung dengan bisnis yang katanya "revolusioner". Bisnis masa depan yang dapat menjanjikan keuntungan yang berlipat ganda. Bisnis yang dapat membuat semua impian kita menjadi nyata. Tentu saja, bisnis yang dapat menimbulkan motivasi yang kuat untuk mengejar kesuksesan. Apakah bisnis tersebut ? Jawabnya cuma Multi Level Marketing (MLM) yang bisa mewujudkan semua yang telah saya sebutkan tersebut.

Saya banyak mendapatkan tawaran. Mulai dari teman kantor, teman pengajian, sampai ke beberapa orang yang baru saya kenal. Semuanya mengatakan bahwa MLM merupakan bisnis masa depan. Dapat lebih menjanjikan. Untung cepat dengan modal sedikit dan waktu yang singkat. Namun dalam hati saya mulai bertanya-tanya benarkah demikian ?.

Akal sehat dan nurani saya menjadi terusik. Apalagi mereka mencontohkan si A atau Si B telah menjadi jutawan atau milyader dari bisnis MLM. Bahkan mereka telah keliling dunia lewat MLM. Bahkan pula terdapat contoh seorang yang kaya dari MLM justru memulai bisnis pada usia yang bukan terbilang muda. Bahkan pernah pula seorang yang ngebet (kepingin betul) saya bergabung menunjukkan kalau saya bisa sesukses dia memiliki apartemen mewah. (Belakangan saya baru tahu kalau beliau ternyata ngontrak!-red).

Begitulah ! Akal sehat dan nurani yang terusik ini mencari jawaban. Barulah pada medio tahun 2009 saya menemukan sebuah artikel yang ditulis oleh seorang pakar bernama Robert L. Fitzpatrick. Artikel tersebut ditulis pada tahun 1996 setelah beliau melakukan riset selama 20 tahun terhadap praktek MLM di Amerika Serikat. Tidak tanggung-tanggung, bisnis MLM yang disoroti beliau tidak hanya MLM yang menjual produk kecantikan dan kesehatan namun juga pulsa telepon gratis, voucher hotel, hingga tiket pesawat dan bensin. Namun, kesimpulan dari artikel tersebut, apa pun produknya, semangat bisnis MLM tetap saja dibangun dari ilusi dan mimpi. Bukan kegunaan dan manfaat produk yang ditawarkan. Salah satu kesimpulan yang menarik dari isi artikel beliau, bahwa peserta MLM bukanlah seorang Enterpreneur. Mereka hanyalah peserta dari suatu sistem yang di disain oleh orang lain yang ternyata malah menimbulkan instabilitas finansial di masa depan bagi mereka sendiri.

Karena itulah, saya memposting artikel yang ditulis beliau dalam blog ini. Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris. Saya sengaja tidak menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena saya khawatir kalau ada orang yang membaca tulisan ini menganggap saya mengada-ngada.

Akhirul kalam, saya tidak berharap supaya anda setuju 100% dengan saya. Namun paling tidak, saya sangat berharap kalau anda dalam membaca artikel dibawah ini menggunakan pemikiran yang jujur dan dengan hati nurani yang bersih serta bebas dari semua prasangka.

Selamat membaca !

________________________________________________________

Ten Big Lies of Multi Level Marketing

The multilevel marketing (MLM) field grows, and its member companies multiply. Solicitations to join seem to be everywhere. Its promoters would like you to believe that it is the wave of the future, a business model that is gaining momentum, growing in acceptance and legitimacy, and will eventually replace most other forms of marketing. Many people are led to believe that success will come to anyone who believes in the system and adheres to its methods.

Unfortunately, the MLM business model is a hoax that is hidden beneath misleading slogans. Calling it a "great business opportunity" makes no more sense than calling the purchase of a lottery ticket a "business venture" and winning the lottery a "viable income opportunity for everyone." MLM industry claims of distributor income potential, its glorified descriptions of the "network'" business model, and its prophecies of dominating product distribution have as much validity in business as UFO sightings do in the realm of science.

The very legality of the MLM system rests tenuously upon a single 1979 court ruling on one company. The guidelines for legal operation set forth in that ruling are routinely ignored by the industry. Lack of governing legislation or oversight by any designated authority also enables the industry to endure despite occasional prosecutions by state attorneys general or the FTC.
MLM's economic scorecard is characterized by massive failure rates and financial losses for millions of people. Its structure in which positions on an endless sales chain are purchased by selling or buying goods is mathematically unsustainable, and its system of allowing unlimited numbers of distributors in any market area is inherently unstable. MLM's espoused core business -- personal retailing -- is contrary to trends in communication technology, cost-effective distribution, and consumer buying preferences. The retailing activity is, in reality, only a pretext for the actual core business, which is enrolling investors in pyramid organizations that promise exponential income growth.

As in all pyramid schemes, the incomes of those distributors at the top and the profits to the sponsoring corporations come from a continuous influx of new investors at the bottom. Viewed superficially in terms of company profits and the wealth of an elite group at the pinnacle of the MLM industry, the model can appear viable to the uninformed, just as all pyramid schemes do before they collapse or are prosecuted by authorities.

The growth of MLM is the result of deceptive marketing that plays upon treasured cultural beliefs, social and personal needs, and some economic trends, rather than its ability to meet any consumer needs. The deceptive marketing is nurtured by a general lack of professional evaluation or investigation by reputable business media. Consequently, there is widespread belief that MLM is a viable business investment or career choice for nearly everyone and that the odds of financial success in the venture are comparable or better than other employment or business ventures.

MLM's true constituency is not the consuming public but hopeful investors. The market for these investors grows significantly in times of economic transition, globalization, and employee displacement. Promises of quick and easy financial deliverance and the linking of wealth to ultimate happiness also play well in this market setting. The marketing thrust of MLM is directed to prospective distributors, rather than product promotions to purchasers. Its true products are not long distance phone services, vitamins, or skin creams, but the investment propositions for distributorships which are deceptively portrayed with images of high income, low time requirements, small capital investments, and early success.

Here are ten lies I have identified during more than 20 years of observing the MLM marketplace:

Lie #1: MLM offers better opportunities than all other conventional
business and professional models for making large amounts of money.

Truth: For almost everyone who invests, MLM turns out to be a losing financial proposition. Fewer than 1% of all MLM distributors ever earn a profit and those earning a sustainable living at this business are a much smaller percentage still.

Extraordinary sales and marketing obstacles account for much of this failure, but even if the business were more feasible, sheer mathematics would severely limit the opportunity. The MLM business structure can support only a small number of financial winners. If a 1,000-person downline is needed to earn a sustainable income, those 1,000 will need one million more to duplicate the success. How many people can realistically be enrolled? Much of what appears as growth is in fact only the continuous churning of new enrollees. The money for the rare winners comes from the constant enrollment of armies of losers. With no limits on numbers of distributors in an area and no evaluation of market potential, the system is also inherently unstable.

Lie #2: Network marketing is the most popular and effective new way to bring products
to market. Consumers like to buy products on a one-to-one basis in the MLM model.

Truth: Personal retailing -- including nearly all forms of door-to-door selling -- is a thing of the past, not the wave of the future. Retailing directly to friends on a one-to-one basis requires people to drastically change their buying habits. They must restrict their choices, often pay more for goods, buy inconveniently, and engage in potentially awkward business relationships with close friends and relatives. In reality, MLM depends on reselling the opportunity to sign up more distributors.

Lie #3: Eventually all products will be sold by MLM. Retail stores, shopping malls,
catalogs and most forms of advertising will soon be rendered obsolete by MLM.

Truth: Fewer than 1% of all retail sales are made through MLM, and much of this is consists of purchases by hopeful new distributors who are actually paying the price of admission to a business they will soon abandon. MLM is not replacing existing forms of marketing. It does not legitimately compete with other marketing approaches at all. Rather, MLM represents a new investment scheme couched in the language of marketing. Its real products are distributorships that are sold through misrepresentation and exaggerated promises of income. People are buying products in order to secure positions on the sales pyramid. The possibility is always held out that you may become rich if not from your own efforts then from some unknown person ("the big fish") who might join your "downline."

MLM's growth does not reflect its value to the economy, customers, or distributors, but the high levels of economic fear, insecurity, wishes for quick and easy wealth. The market dynamics are similar to those of legalized gambling, but the percentage of winners is much smaller.

Lie #4: MLM is a new way of life that offers happiness and fulfillment.
It provides a way to attain all the good things in life.

Truth: The most prominent motivational themes of the MLM industry, as shown in industry literature and presented at recruitment meetings, constitute the crassest form of materialism. Fortune 100 companies would blush at the excess of promises of wealth, luxury, and personal fulfillment put forth by MLM solicitors. These appeals actually conflicts with most people's true desire for meaningful and fulfilling work at something in which they have special talent or interest.

Lie #5: MLM is a spiritual movement.

Truth: The use of spiritual concepts like prosperity consciousness and creative visualization to promote MLM enrollment, the use of words like "communion" to describe a sales organization, and claims that MLM fulfills Christian (or Muslim?) principles or Scriptural prophecies are great distortions of these spiritual practices. Those who focus their hopes and dreams upon wealth as the answer to their prayers lose sight of genuine spirituality as taught by religions. The misuse of these spiritual principles should be a signal that the investment opportunity is deceptive. When a product is wrapped in the flag or in religion, buyer beware! The "community" and "support" offered by MLM organizations to new recruits is based entirely upon their purchases. If the purchases and enrollment decline, so does the "communion.'"

Lie #6: Success in MLM is easy. Friends and relatives are the natural prospects.
Those who love and support you will become your life-time customers.

Truth: The commercialization of family and friendship and the use of"'warm leads" advocated in MLM marketing programs are a destructive element in the community and very unhealthy for individuals involved. People do not appreciate being pressured by friends and relatives to buy products. Trying to capitalizing upon personal relationships to build a business can destroy one's social foundation.

Lie #7: You can do MLM in your spare time. As a business, it offers the greatest flexibility
and personal freedom of time. A few hours a week can earn a significant supplemental income
and may grow to a very large income, making other work unnecessary.

Truth: Making money in MLM requires extraordinary time commitment as well as considerable personal skill and persistence. Beyond the sheer hard work and talent required, the business model inherently consumes more areas of one's life and greater segments of time than most occupations. In MLM, everyone is a prospect. Every waking moment is a potential time for marketing. There are no off-limit places, people, or times for selling. Consequently, there is no free space or free time once a person enrolls in MLM system. While claiming to offer independence, the system comes to dominate people's entire life and requires rigid conformity to the program. This is why so many people who become deeply involved end up needing and relying upon MLM desperately. They alienate or abandon other sustaining relationships.

Lie #8. MLM is a positive, supportive new business that
affirms the human spirit and personal freedom.

Truth: MLM is largely fear-driven. Solicitations inevitably include dire predictions about the impending collapse of other forms of distribution, the disintegration or insensitivity of corporate America, and the lack of opportunity in other occupations. Many occupations are routinely demeaned for not offering"unlimited income." Working for others is cast as enslavement for "losers." MLM is presented as the last best hope for many people. This approach, in addition to being deceptive, frequently discourages people who otherwise would pursue their own unique visions of success and happiness. A sound business opportunity does not have to base its worth on negative predictions and warnings.

Lie #9. MLM is the best option for owning your own
business and attaining real economic independence.

Truth: MLM is not true self-employment. "Owning" an MLM distributorship is an illusion. Some MLM companies forbid distributors to carry other companies' products. Most MLM contracts make termination of the distributorship easy and immediate for the company. Short of termination, downlines can be taken away arbitrarily. Participation requires rigid adherence to a "duplication" model, not independence and individuality. MLM distributors are not entrepreneurs but joiners in a complex hierarchical system over which they have little control.

Lie #10: MLM is not a pyramid scheme because products are sold.

Truth: The sale of products does not protect against anti-pyramid-scheme laws or unfair trade practices set forth in federal and state law. MLM is a legal form of business only under rigid conditions set forth by the FTC and state attorneys general. Many MLMs are violate these guidelines and operate only because they have not been prosecuted. Recent court rulings are using a 70% rule to determine an MLM's legality: At least 70% of all goods sold by the MLM company must be purchased by nondistributors. This standard would place most MLM companies outside the law. The largest MLM acknowledges that only 18% of its sales are made to nondistributors.

Khayalan Tingkat Tinggi (Mudah-mudahan Terwujud)

Sambil menghisap batang rokoknya, Adelin Lis mulai duduk sambil menunjukkan jari
telunjuknya ke arah seorang penyidik dari MABES POLRI. Gayanya santai. Tidak
terlihat sedikit pun kekhawatiran bahwa ancaman hukuman seumur hidup yang akan
dijatuhkan kepadanya mengingat dosa dan kesalahannya sudah begitu banyak.
Pembalakan Liar, Penyuapan, Pemerasan, Kabur dari Penjara hingga Pemalsuan
Vonis.

"Jadi anda adalah perwira bintang satu yang sering dibicarakan oleh pengacara
saya", kata Adelin Lis sambil sesekali tersenyum.

"Apa maksud anda ?", kata pria bertubuh tegap tersebut. Sambil mengelus
kepalanya yang mulai ditumbuhi uban.

"Pengacara saya mengatakan bahwa ketika anda menjabat sebagai Kapolwil, anda dan
jajaran anda menggrebek sebuah tempat yang menjadi transaksi narkoba. Tak
dinyana ditempat itu, si bandar besar tidak lari. Dia tersenyum, dan
mengeluarkan tiga buah karung berisi uang. Yang lebih mencengangkan isi karung
tersebut ternyata berjumlah USD 1 juta.", katanya sambil menghisap rokok
dalam-dalam.

"Tapi anda menolak. Uang tersebut disita dan dijadikan barang bukti. Uang
berkarung-karung tersebut anda bawa ke MABES POLRI dan disimpan dalam lemari
besi yang besar, bahkan anda sama sekali tidak bisa membuka lemari besi
tersebut. Beberapa perwira tinggi ternyata menyebut anda sebagai Komandan
Tolol."

"Saya setuju dengan pendapat mereka. Seharusnya anda tinggal melaporkan bahwa
ditemukan uang ratusan juta rupiah. Sementara uang pemberian dari bandar besar
tersebut seharusnya anda simpan. Lumayan buat tabungan hari tua, menyekolahkan
anak anda di luar negeri, membeli mobil baru atau apa pun sesuka anda. Lagi pula
anak buah anda gak akan protes selama anda mau membagi uang itu sedikit kepada
mereka. Sekedar uang rokok.", katanya lagi dengan mimik muka serius.

" Lalu apa yang akan anda perbuat. Itu cuma bagian tugas saya di masa lalu.
Sekarang, lebih baik anda fokuskan kepada tuduhan yang dikenakan pada anda.
Semua bukti sudah mengarah kepada anda. Apakah anda masih menyangkal ?", kata
pria tersebut terlihat makin emosi.

"Saya tidak menyangkalnya", kata Adelin Lis, " Tapi saya mau mengajukan sesuatu
dimana anda harus mengikuti persis apa yang saya mau".

"Anda mau memerintah saya ? Saya jamin, anda tidak bisa ! Lagi pula anda
menyangkal atau tidak menyangkal hukuman anda tetap segitu. Seumur hidup. Jangan
pernah anda bernegosiasi dengan saya, karena semua usaha anda pasti tidak akan
berhasil", kali ini dia setengah membentak

"Saya mau masuk penjara. Saya ingin mengakui semua kesalahan dan dosa saya. Tapi
saya ingin anda tahu, bahwa Saya tidak mau masuk penjara sendirian ! Saya mau
semua nama-nama yang saya beberkan kepada anda juga harus masuk ke penjara !",
kata Adelin Lis tak mau kalah.

"Apa maksud anda ?", tanya pria itu keheranan.

"Tahukah anda bahwa bisnis haram saya berjalan lantaran saya memberi uang kepada
para aparatur keamanan ? Saya bukan cuma memberikan uang kepada polisi, tapi
juga kepada aparat militer, pemda, kejaksaan, pengadilan dan Departemen
Kehutanan. Juga beberapa aparat desa dan preman binaan aparatur. Anda pikir
berapa yang saya keluarkan tiap bulan kepada semua pihak tersebut ? semuanya
seratus ribu dollar amerika ! Bahkan bulan kemarin jumlahnya meningkat hingga
dua ratus ribu !", katanya sambil menyeruput kopi pahit.

"Bagaimana kalau saya katakan bahwa saya tidak bisa membantu anda. Karena
mungkin ini melibatkan petinggi POLRI dan Militer ?", kata pria tersebut dengan
mimik muka lebih tegang.

"Sebagai pemilik bisnis dengan omset 250 juta dollar amerika, Saya akan membeli
keadilan di negeri ini. Tentunya anda tidak mau saya bebas begitu saja
menyebabkan kerja keras anda selama bertahun-tahun menghilang begitu saja?" kata
Adelin Lis sambil tersenyum lebar.

"Baiklah", kata pria tersebut. Saya berjanji kepada anda untuk menindak tegas
nama-nama tersebut. Tapi ingat ! Jika anda berbohong satu nama pun maka anda
saya jamin tidak akan bebas.", kata pria tersebut sambil meneguk gelas berisi
teh pahit.

Maka Adelin Lis memberikan nama-nama kepada pria tersebut. Pria itu
membicarakannya langsung dengan Kapolri waktu ada undangan di Istana. Tidak
disangka-sangka, Presiden mendengar pembicaraan mereka dan meminta untuk
menindaktegas siapa pun pangkatnya. Lebih mengejutkan, hari itu juga Presiden
menandatangani Surat perintah Khusus kepada Kapolri untuk menindaklanjuti temuan
tersebut.

Hari-hari berikutnya selama dua bulan seluruh pemberitaan di Surat Kabar mulai
berisi berita penangkapan. Terdapat beberapa orang Kapolda, Kapolwil, Kapolres,
Kapolsek hingga pelaksana di lapangan ditangkap oleh tim khusus MABES POLRI.
Bekerja sama dengan PUSPOM TNI, juga ditangkap beberapa pejabat penting
dilingkungan KODAM, Komandan KODIM, Komandan KORAMIL, Babinsa dan petugas
lapangan. Tidak tanggung-tanggung pula semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Pemda dan Departemen Kehutanan juga ditangkap. Termasuk kepala Kanwil
Dephut yang terlibat. Presiden juga memberikan ijin kepada Kapolri untuk
menangkap para Bupati, Walikota dan Gubernur yang terlibat berikut anggota DPRD.

Hasil tangkapan sungguh fantastis ! jumlah perwira polisi dan militer yang
ditangkap berjumlah 1109 orang ! pegawai dephut sebanyak 500 orang lebih, 8
orang bupati, 10 orang walikota dan 2 orang gubernur juga menjadi tersangka
dalam kasus tersebut.

Adelin Lis akhirnya divonis hukuman 15 tahun penjara. Lebih rendah dari tuntutan
Jaksa sebesar 30 tahun penjara. Alasan majelis hakim, karena yang bersangkutan
telah bersikap kooperatif terhadap aparat penegak hukum. Ajaibnya, Adelin Lis
langsung menyatakan tidak akan mengajukan banding dan menerima hukuman tersebut
dengan ikhlas.

------------------------------------------------------------------------

Saya membayangkan cerita diatas benar-benar terjadi di Indonesia. Namun
sayangnya, dialog dan cerita tersebut hanya terjadi di film American Gangster
yang dibintangi oleh Russel Crowe dan Denzel Washington serta dirilis tahun
2007. Lebih menakjubkan lagi bahwa ternyata film tersebut dibuat berdasarkan
kisah nyata tokoh gangster terkenal Amerika bernama Frank Lucas.

Saya cuma berharap, sepenggal episode dalam film tersebut hadir disini.
Setidaknya, jika saya bisa bermimpi maka hal tersebut dapat saya jadikan wacana
untuk menjadi kenyataan, oleh orang lain. Tidak tertutup kemungkinan dalam waktu
dekat, mimpi saya bisa menjadi kenyataan.

Adakah yang mau mewujudkannya ? Tentunya akan semakin indah perjalanan pengembaraan ini jika khayalan saya yang sederhana ini dapat terwujud.

Rabu, 12 Agustus 2009

Saran Kecil bagi Dunia Transportasi Kita

Memang, salah satu senjata ampuh untuk dapat memberikan pengaruh kepada manusia adalah melalui makanan. Tak dapat dipungkiri, makanan yang enak, khas, dan tentunya harga yang murah akan lebih menimbulkan kesan di dalam hati manusia yang tentunya akan membuat semakin ketagihan dan kecanduan.

Dulu, ketika saya mengikuti ibu saya yang berdagang baju muslim ke Semarang, seringkali beliau lebih memilih pulang dengan menggunakan Kereta Api Argo Muria pagi. Emak, demikian beliau disapa, menyukai naik Argo Muria pagi karena ada makanan yang beliau anggap enak. “Nasinya enak. Pulen, lembut, tapi padat”,katanya. Meskipun kata beliau lauknya biasa saja, tapi dengan nasi yang enak tadi membuat makan jadi berselera. Tambahan lagi, makanan tersebut bagian dari tuslah Cuma-Cuma yang diberikan oleh Kereta Api sehingga menambah selera dan santap makan. Maklum Gratis !

Dikampus kedinasan tempat saya menuntut ilmu, saya mengenal warung makan yang dikelola oleh seorang pemuda dan adik perempuannya yang berasal dari Tegal. Disana saya amat menikmati makanan khas berupa usus ayam goreng kecap plus nasi dan sayur sawi. Disamping harganya yang cukup murah (hanya 500 rupiah) terkadang saya mendapatkan pisang gratis dan minuman teh pahit Cuma-Cuma pula. Namun sayangnya ketika saya hendak nostalgia setelah hampir dua belas tahun lulus dari kampus tersebut, saya menemukan warung tadi berubah menjadi studio foto. Sang pemuda dan adiknya telah pulang ke kampung halaman. Terpaksa keinginan untuk dapat menikmati masakan khas yang enak dan murah tersebut harus dilupakan selama-lamanya!

Saya termasuk orang yang beruntung memiliki istri yang cantik dan penyabar. Kelebihan lainnya yang saya sukai adalah pandai memasak. Dia sangat terampil mengolah masakan yang enak dan lezat. Demi ingin senantiasa menikmati masakannya maka saya tidak bisa menolak keinginannya untuk ditemani belanja ke pasar sambil membawa banyak belanjaan. Ternyata masakan enak dapat melunakkan hati orang yang keras kepala seperti saya !

Saya melihat di industri transportasi, belum pernah mereka mengelola bisnis dengan memasukkan unsur kuliner sebagai daya tarik. Banyak pengelola bus yang masih berhenti di rumah makan yang dikelola dengan alakadarnya. Makanan di kereta api tidak pernah ada perubahan menu yang signifikan. Bahkan sekarang tuslah makan gratis untuk penumpang pun sudah ditiadakan. Diganti dengan kudapan sekedarnya. Di maskapai penerbangan pun juga sama. Bahkan untuk sekedar menikmati rebusan segelas mi instan harus mengeluarkan kocek lebih dalam. Dalam beberapa kasus bahkan ada maskapai penerbangan yang tidak menyuguhkan apa-apa selama perjalanan. Saya tidak dapat membayangkan betapa tersiksanya penumpang dalam penerbangan seperti itu.

Sungguh menyedihkan ! Disaat yang sama penumpang selaku konsumen juga disuguhi hal-hal yang sama sekali tidak mengenakkan. Mulai dari jadwal karet, terlambat, kemacetan, awak angkutan yang tidak sopan bahkan cenderung kasar dan tidak professional bahkan semakin seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas, baik di darat,laut dan udara yang menyebabkan kehilangan harta bahkan jiwa sang penumpang. Maka lengkaplah penderitaan masyarakat selaku konsumen dari jasa transportasi tersebut.

Semestinya mereka harus sadar bahwa untuk dapat bertahan hidup di tengah persaingan yang amat ketat sekarang ini, maka perlu ada daya tarik yang dapat menarik konsumen agar mau menikmati dan menggunakan jasa angkutan yang mereka selenggarakan. Paling tidak, meskipun tidak unggul dalam kecepatan dan ketepatan waktu, mereka dapat memperkuat daya tarik kuliner sebagai alternatif suguhan yang baik bagi penumpang selaku konsumen. Saya mengira mereka kan tertarik naik bus dari perusahaan A, karena bus tadi selalu berhenti di rumah makan yang terkenal enak masakannya tapi murah harganya. Tentulah orang-orang akan banyak menggunakan kereta api ke Bandung dari Jakarta meskipun ada tol Cipularang karena di Kereta Parahyangan terdapat nasi kebuli yang khas dan enak. Banyak orang akan naik pesawat dari maskapai B, karena mereka akan mendapatkan nasi goreng kambing istimewa secara Cuma-Cuma selama dalam penerbangan. Dengan begitu saya yakin, tidak perlu menunggu musim liburan atau lebaran tiba untuk dapat menarik jutaan orang menggunakan jasa transportasi. Namun setiap hari, akan ada jutaan orang yang antri naik bus, kereta api, pesawat terbang dan kapal karena daya tarik kuliner yang begitu menggiurkan dan mengundang selera. Tentunya perjalanan akan tambah mengasyikkan karena setiap hari akan selalu ada menu makanan enak di setiap moda transportasi yang berjalan di negeri yang kita cintai ini.

Akankah itu semua dapat terwujud ? Sungguh indahnya apabila hal tersebut menjadi nyata dan hadir ditengah pengembaraan kita sekarang.

Senin, 03 Agustus 2009

Petuah Cinta untuk Wanita

Cinta lagi? Demikianlah dalam benak kita manakala membicarakan masalah cinta. Sejujurnya, cinta adalah sesuatu yang tidak habisnya untuk dibicarakan. Dia menjadi inspirasi dalam kehidupan. Dia pulalah yang menjadi denyut nafas para pemujanya diseluruh dunia. Menjadi sebuah fenomena yang menggerakkan pena para penulis dan alat yang digunakan seniman sebagai inspirasi dalam menghasilkan karya-karya yang indah.

Adalah hal yang wajar bagi wanita untuk mencintai dan dicintai. Memberikan cinta kepada lelaki yang menarik perhatiannya. Lelaki yang dipujanya. Namun tentunya, dalam kehidupan pengembaraan ini cinta yang diberikan haruslah kepada lelaki yang menjadi cinta sejatinya. Jika tidak, maka cinta yang diberikan adalah cinta yang semu. Cinta yang menyakitkan dan mampu membuat luka yang amat mendalam menoreh di jiwa. Sudah sepantasnya seorang wanita memberikan cinta sepenuh hatinya kepada lelaki yang merupakan cinta sejatinya.

Lalu bagaimanakah mengetahui apakah seorang lelaki itu merupakan cinta sejati dari seorang wanita?

Sudah pasti, apabila seorang wanita, sebut saja bernama A, ingin mengetahui siapakah cinta sejatinya, maka lelaki yang menjadi cinta sejatinya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat dibawah ini :

“Saya terima nikah dan kawinnya A binti fulan, dengan mas kawin tersebut diatas dibayar tunai”
Dengan syarat kalau si lelaki tersebut menyebutkan kalimat diatas dengan menggenggam tangan wali si A, disaksikan oleh dua orang saksi lelaki dewasa dan dicatat oleh petugas pencatatan dari Kantor Urusan Agama.

Atau dengan kata lain,lelaki yang menjadi cinta sejati seorang wanita adalah lelaki yang telah resmi menjadi suami dari wanita tersebut.

Mengapa demikian ? Karena pada hakekatnya seorang wanita yang menjadi istri dari seorang lelaki memiliki beberapa hak istimewa yang harus dipenuhi oleh lelaki yang menjadi suami dari wanita tersebut. Hak-hak istimewa tersebut adalah :

1. Wanita tersebut tidak boleh lagi mendapatkan panggilan nama, meskipun nama lengkap, atau julukan apalagi sebutan-sebutan buruk. Dia harus dipanggil dengan panggilan, “SAYANG”, “CINTA” atau “KEKASIHKU” oleh suaminya.

2. Wanita tersebut memiliki hak untuk meminta seluruh isi dompet dari suaminya termasuk yang berasal dari penghasilan sampingan.

3. Wanita tersebut berhak mendapatkan perlakuan mesra dan lembut dari suaminya sekalipun di depan umum. Suaminya wajib menggandeng tangannya, memeluk tubuhnya agar tidak jatuh manakala bergelantungan di bus dan kereta api, serta membukakan pintu mobil agar dia bisa turun ataupun naik. Bahkan mencium bibirnya dengan lembut sekalipun ditempat keramaian.

4. Wanita tersebut berhak memberikan masukan dan pendapat apabila suaminya memutuskan untuk membeli rumah dan atau kendaraan. Atau ketika akan membuka usaha dan investasi.

5. Wanita tersebut berhak mendapatkan pelukan dan kata-kata yang menghibur dari suaminya manakala dia merasa tertekan atau mendapatkan masalah atau sedang bersedih. Suaminya wajib melakukan hal-hal tersebut untuk menenangkan hatinya.

6. Wanita tersebut berhak meminta penjelasan kepada suaminya apabila suaminya mendapat telepon atau SMS atau MMS dari wanita selain dirinya dan orang tuanya atau mertuanya. Suaminya wajib terbuka mengenai hal tersebut.

7. Wanita tersebut berhak melaporkan kepada polisi dan memenjarakannya apabila suaminya sudah berani menyakiti badannya setiap hari.

8. Wanita tersebut berhak mengatur penampilan suaminya agar dapat tampil oke dan tampan setiap saat. Memilihkan pakaian yang pantas untuk dipakai mulai dari yang terbesar sampai kepada yang terkecil sekalipun. Suaminya wajib mematuhi dia dalam urusan hal ini.

9. Wanita tersebut berhak untuk memandikan suaminya. Membersihkan seluruh badannya serta mencukur kumis dan jenggotnya agar dapat tampil mempesona.

10. Wanita tersebut berhak meminta suaminya untuk memijat tubuhnya dan mengeriknya jika merasa tidak enak badan. Suaminya wajib mengabulkan permintaannya.

11. Wanita tersebut berhak meminta suaminya untuk dilibatkan dalam rencana-rencana besar si suami. Termasuk pula apabila suaminya memiliki obsesi yang besar menjadi seorang tokoh atau seniman yang terkenal.

12. Wanita tersebut berhak mendapatkan pujian dari suaminya atas masakan yang keasinan, gosong ataupun tidak enak.

13. Jika suaminya menjadi orang terkenal, maka wanita tersebut berhak mendampinginya selama 24 jam dan melayaninya sampai puas.

14. Wanita tersebut berhak untuk tidak memasak untuk suaminya, mencuci pakaian suaminya, dan membersihkan rumah, apabila suaminya mampu menggaji seseorang untuk melakukan hal-hal tersebut. Yang menjadi kewajiban wanita tersebut adalah melayani suaminya sampai mendapatkan kepuasan batin.

15. Wanita tersebut berhak mendapatkan pujian atas usahanya untuk berhias dan mempercantik dirinya manakala suaminya mendatanginya. Suaminya wajib memberikan pujian apabila di depannya, istrinya tampil seksi, menggoda dan sedikit manja dan liar.

16. Wanita tersebut berhak meminta suaminya untuk membelikan barang-barang yang diinginkannya apabila suaminya mendapat keluasan rejeki. Suaminya wajib mengabulkan permintaannya.

17. Wanita tersebut berhak meminta suaminya untuk menemani dan mengobatinya manakala dia sedang sakit. Suaminya harus ikhlas dan rela untuk melayani dirinya manakala sedang sakit.

18. Wanita tersebut berhak meminta ikut suaminya, manakala suaminya mendapatkan undangan dari pihak lain. Suaminya tidak boleh protes apabila wanita tersebut ingin ikut bersamanya.

19. Wanita tersebut berhak meminta suaminya untuk membantunya memasak, membersihkan rumah atau menemaninya berbelanja. Suaminya harus bersedia membantunya tanpa kecuali

20. Wanita tersebut berhak mendapatkan cinta yang penuh kepada suaminya dan meminta agar suaminya membalas cintanya. Dia juga berhak menentukan dan memberikan masukan dengan wanita manakah suaminya akan bersanding jika suaminya terbukti memiliki keluasan rejeki yang sangat luas dan berkeinginan untuk menikah lagi. Bahkan kalau memungkinkan, wanita tersebutlah yang mencarikan jodoh bagi suaminya, tentunya dengan terlebih dahulu menetapkan kriteria dan persyaratan yang dia tentukan sebelumnya.

Nah, karena anda sebagai seorang wanita memiliki hak-hak istimewa terhadap lelaki yang menjadi suami anda maka sudah sepantasnya anda berikan seluruh cinta sepenuh hati kepada suami anda. Karena dia adalah cinta sejati yang sudah di berikan Allah kepada anda.

Perjalanan Pengembaraan

Kita mulai bergerak. Dengan niat yang ikhlas, kekuatan yang dikerahkan, langkah yang diayunkan serta doa yang dipanjatkan maka perjalanan pun dimulai. Namun ternyata di dalam perjalanan ini ada banyak warna, rona, nuansa, dan pernak-pernik yang ditemui. Ada situasi dimana kita bisa tertawa. Namun tak sedikit pula membuat kita menangis sedih. Ada saatnya kita terharu. Namun ada saatnya kita bergurau.

Begitulah perjalanan pengembaraan ini. Kita telah berperan sesuai dengan peran yang kita ambil dan senangi di dunia tempat kita menanam ini. Ada banyak suasana dan asa yang kita temui. Ada banyak pula insan yang datang dan pergi di sela-sela kehidupan dimana mereka satu dan yang lainnya mengisi perjalanan hidup kita. Diantara mereka ada yang kita kenang selamanya. Namun ada pula yang kita ingat hanya untuk sesaat. Seperti juga mereka, kita pun kadang datang dan pergi untuk berinteraksi dengan mereka sebagai bagian dari warna-warni kehidupan kita. Demikian kita mengisi perjalanan pengembaraan ini. Ada banyak kisah dan cerita yang akan selalu mengisi hati kita.

Tentulah akan sangat menyenangkan jika di dalam pengembaraan ini kita dapat mengenang yang baik untuk kita teladani dan yang buruk untuk kita jauhi serta menjadikannya pelajaran yang berarti. Kita mengikuti mereka yang telah memberikan karya terbaik untuk dirinya dan manusia lainnya. Kita juga berharap jangan sampai kita dan generasi yang akan meneruskan langkah kita menjadi bagian dari orang-orang yang telah menebar kerusakan, kezaliman, dan kejahatan di dunia ini. Kita menjadikan mereka yang ikhlas, cerdas, mawas dan bekerja dengan tuntas sebagai idola dan panutan. Kita menjadikan mereka yang malas, munafik, bodoh dan tidak professional sebagai cermin untuk tidak melakukan perbuatan yang demikian. Itulah sebuah pengembaraan yang indah. Pengembaraan yang memang diharapkan menjadi bagian dari perjalanan panjang kita.

Di waktu-waktu yang akan datang, di blog ini, kita akan menemui rona, warna, nuansa, karya, karsa dan rasa yang kita temui dalam perjalanan pengembaraan kehidupan kita. Tentunya kita berharap, dengan mengupas berbagai fenomena dalam kehidupan ini maka akan banyak ide dan wawasan yang terbuka. Dengan demikian, pastinya, perjalanan pengembaraan kita akan menjadi sesuatu yang menyenangkan ditengah kegersangan kehidupan kita seperti bunga yang sudah lama layu sebelum berkembang.