Selasa, 27 Oktober 2015

Cerita Fiksi III

“Hey, hentikan!”, teriakku sambil mendekat ke kumpulan remaja tanggung yang sedang mengacak-acak dagangan kue seorang gadis cilik yang sedang menangis.

Langsung kumuntahkan semua pukulan dan tendangan wushu ku kearah mereka.  Mereka pun lari tunggang-langgang karena terkena pukulan dan tendanganku yang sangat telak menghajar muka, dada dan perut mereka.

“Kamu tidak apa-apa dik?”, tanyaku ke gadis cilik berkulit putih tersebut.

“Gak apa-apa bang. Tapi kue Ningsih habis semua. Hari ini Ningsih belum dapat uang”, katanya sambil menangis.

“Mereka memalak Ningsih bang. Ningsih sudah bilang gak punya uang. Mereka tetap maksa. Jadi begini bang”, katanya sambil sesegukan.

Aku pun merasa iba. Kemudian memeluk tubuhnya.

“Sudah, kamu jangan nangis ya. Abang antar kamu pulang ke rumah. Oh ya lebih baik kamu ambil uang ini,” kataku sambil melepaskan pelukanku dan menyerahkan lima lembar uang lima puluh ribuan.

“Banyak benar bang. Nanti Ningsih ditanya-tanya sama nenek gimana?”, katanya polos.

“Bilang saja dagangan kamu laku keras. Ada yang beli kue dengan harga mahal tanpa menawar”, kataku meyakinkannya.

“Ayo Abang antar kamu pulang”, kataku sambil menggandeng tangannya. Dia pun menuruti langkahku.

“Rumah Ningsih jauh Bang. Abang gak apa-apa mengantar Ningsih”, katanya dengan nada sedih.

“Gak apa-apa. Sekalian Abang silaturrahmi ke Nenek Ningsih”, kataku lagi.

Kami pun berjalan menyusuri gang dan jalanan kecil di pinggiran Ibu Kota ini.

Sambil berjalan aku coba bertanya tentang dirinya. Ternyata Ningsih baru berusia 8 tahun dan sudah yatim piatu. Ayahnya meninggal waktu dia berumur dua tahun karena kecelakaan kerja. Ibunya menyusul ayahnya dua tahun kemudian karena kecelakaan lalu lintas. Kini, Ningsih diasuh oleh Sang Nenek, yang merupakan Ibu dari Ibunya yang juga sudah menjanda selama hampir 15 tahun.

Setelah berjalan kaki selama hampir 1 jam, aku pun tiba di rumah sangat sederhana namun ternyata sangat bersih dan rapih.

Setelah mengucapkan salam aku pun ditemui oleh seorang nenek yang baik. Dia pun mempersilahkan aku masuk.

“Silahkan Bang. Abang duduk di dalam. Nenek mau buatkan minum”, katanya sambil berjalan ke dalam rumah.

“Gak usah repot-repot Nek”, kataku. “Saya gak akan lama kok”.

Tetap saja si Nenek masuk ke dalam rumah dan kemudian kembali keluar dengan membawa segelas teh hangat buatku. Dia pun meletakan gelas tersebut diatas meja dan mempersilahkan aku untuk minum.

“Nek boleh saya bertanya?”, kataku. “Apakah Ningsih masih sekolah?”, tanyaku.

“Alhamdulillah masih bang. Kami mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga Ningsih bisa sekolah di pagi hari. Sedangkan siangnya dia berjualan kue membantu nenek”, kata sang nenek.

“Tapi nenek kok heran ya. Biasanya dia baru kembali berjualan pada sore. Ini masih siang sudah pulang. Uangnya pun banyak dan dagangannya habis?”, kata si Nenek bertanya-tanya. “Lalu hubungan Ningsih dengan Abang apa yaa?”, tanyanya lagi.

Aku pun tersenyum dan mencoba menimpali ucapannya.

“Saya kebetulan sedang butuh kue banyak nek, buat merayakan ulang tahun teman. Kebetulan Ningsih lewat dan kuenya masih banyak. Jadi saya borong semuanya. Kebetulan juga saya sedang banyak uang. Jadi saya bayar dengan harga mahal”, kataku mencoba berbohong.

“Tapi kan harga kuenya tidak sebesar itu bang. Paling banter gak sampai lima puluh ribu. Sementara Abang ngasih dua ratus lima puluh ribu. Apa gak kemahalan?”, tanya si Nenek.

“Gak kok nek. Saya ikhlas. Itung-itung bantu nenek juga”, kataku sambil tersenyum.

Ningsih keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian. Dia pun mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku pun memberikan nomor HP kepadanya kalau-kalau dia membutuhkan bantuan.

Sebelum pamit aku berkata kepada Ningsih.

“Ningsih, nanti kalau mau jualan tolong telepon Abang ya. Nanti Ningsih abang jemput. Ada tempat yang bagus buat Ningsih berjualan kue”, kataku kepadanya. Ningsih pun mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian, aku berpamitan kepada si Nenek dan pergi keluar dari rumah itu.

Keesokan siangnya, Ningsih menelepon ke HPku dan bilang dia mau ikut berjualan dengan ku. Kebetulan juga aku baru saja selesai kuliah. Langsung ku pacu sepeda motor bekasku menuju rumahnya.

Aku pun membawa Ningsih ke tempat aku biasa melatih para muridku untuk belajar Wushu. Kemarin, sepulang dari rumahnya aku menemui pengelola tempat latihan supaya bisa memberikan tempat buat Ningsih berjualan kue disana. Si pengelola pun setuju.

Ningsih pun kemudian menjual kue dagangannya di tempat latihan Wushu. Selesai latihan para muridku ramai-ramai membeli dagangan Ningsih. Dari percapakan mereka, ternyata mereka sangat menyukai kue dagangan Ningsih karena enak. Dalam hitungan satu jam, dagangannya pun ludes. Ningsih tersenyum karena mendapat banyak uang pada hari itu.

“Terima kasih ya bang. Abang udah membantu Ningsih”, katanya sambil tersenyum.

“Nah, kalau gitu tiap hari Ningsih berdagang disini saja ya! Insya Allah, gak ada yang ganggu Ningsih lagi. Setuju?”, sambil mengulurkan telapak tanganku.

Ningsih pun tertawa dan menepuk telapak tanganku. Aku pun mengantarnya pulang.

Begitulah setiap harinya Ningsih berjualan di tempat latihan Wushu. Tenyata murid-muridku sangat menyukai kue dagangan Ningsih karena enak. Aku pun turut berbahagia karena tampaknya Ningsih sangat senang berjualan di tempat latihanku.

Tanpa sepengetahuanku Ningsih sering mempromosikan tempat latihan Wushuku kepada semua orang. Tak heran kalau muridku makin lama makin bertambah banyak. Aku pun berterima kasih kepadanya dan sering memberikan uang lebih selain dari hasil dagangannya. Ningsih pun benar-benar berterimakasih karena sejak berdagang di tempat latihanku kini dia dan neneknya dapat menabung dengan lancar.

Sepuluh Tahun kemudian .......

“Selamat Mas Pramudya, atas suksesnya bisnis Gymnasium dan Latihan Bela Diri ini”, kata Pak Sumarno, sang manajer Bank, sambil menyalamiku.

“Iya pak. Alhamdulillah, berkat persetujuan kredit yang Bapak berikan saya bisa mengganti peralatan yang lebih baru. Insya Allah, bulan depan saya akan buka cabang di tempat lain Pak”, kataku meyakinkan.

Aku pun teringat masa-masa ketika aku lulus kuliah. Aku memfokuskan diri untuk mengembangkan bisnis latihan wushuku. Aku pun pindah ke tempat yang lebih baik untuk menampung muridku yang semakin lama semakin banyak. Di tempat yang baru aku mencoba melebarkan bisnis ke bidang yang lain yakni bisnis fitnes dan body building. Karenanya, aku pun membuat paket jualan lengkap yakni body building dilengkapi dengan pelajaran bela diri Wushu. Tak heran sejak paket jualanku diluncurkan, banyak orang yang mendaftar untuk menjadi muridku.

Karena semakin berkembang maka aku memutuskan untuk membeli tempat tersebut dan mulai merenovasi secara besar-besaran. Sejak di renovasi dan diperluas, bisnisku pun semakin berkembang. Ada tawaran dari mantan muridku yang juga sudah menjadi instruktur wushu untuk membuka cabang di daerah tempat tinggalnya. Karenanya  aku mengajukan kredit ke Bank tempat Pak Sumarno bekerja untuk membeli tempat yang akan aku jadikan Cabang bisnisku.

Seiring dengan majunya bisnisku, aku pun meminta Ningsih untuk mengelola kantin yang ada di tempat bisnisku. Ningsih pun menyanggupi dengan syarat dilakukan sepulang sekolah. Karenanya setiap pulang sekolah Ningsih pun mengelola Kantin di Gymnasium dan setiap sore aku mengantarnya pulang. Hubunganku dengan Ningsih sudah seperti kakak-beradik. Neneknya pun senang kepadaku karena telah menjaga Ningsih sebagaimana seorang Kakak kepada Adiknya.

Ningsih memutuskan untuk menunda kuliah karena sedang mengurusi sang nenek yang sudah sakit-sakitan. Aku pun menghormati keputusannya dan juga memberinya kelonggaran waktu. Artinya dia boleh kapan saja datang untuk mengelola kantinku.

Malam itu aku membesuk Sang Nenek di rumah sakit. Nenek pun senang melihat aku datang. Aku pun mencium tangannya dan menanyakan kabarnya. Nenek pun menjawab kalau dia baik-baik saja.

“Bang Pramudya, nenek mau berpesan kepada Abang”, katanya. “Ningsih, boleh keluar sebentar? Nenek cuma mau bicara berdua dengan Bang Pramudya”, katanya kepada Ningsih. Kemudian, gadis berjilbab putih itu pun keluar dari ruangan.

“Silahkan nek”, kataku.

“Abang, umur nenek sudah gak akan lama. Nenek berterimakasih sama Abang karena telah membantu ekonomi kami”, katanya sambil memegang tanganku.

“Abang telah menjadi Kakak yang baik buat Ningsih. Nenek yakin, ditangan Abang, Ningsih akan semakin baik dan terjaga”, katanya.

“Tapi bagaimana pun, Abang dengan Ningsih bukanlah sekandung. Bukan muhrim. Nenek cuma ingin dan berharap kalau Abanglah yang menjadi suami Ningsih”, katanya.

“Berjanjilah Bang kepada Nenek. Kalau Abang kelak yang menjadi suami Ningsih”, katanya sambil berurai air mata.

“Insya Allah nek.”, kataku kemudian.

Tiba-tiba nafas nenek menjadi sesak. Segera aku memanggil suster untuk segera diberikan pertolongan. Suster pun memanggil dokter karena keadaan semakin parah. Ningsih pun masuk dan langsung menangis melihat keadaan nenek yang semakin parah. Dokter memerintahkan suster untuk dibawa ke ruang ICU. Segera saja nenek dibawa ke ICU dan kami pun diperintahkan untuk menunggu diluar. Aku mencoba menenangkan Ningsih yang masih terus menangis.

Untung tak dapat ditolak malang tak dapat diraih, Dokter pun keluar dari ruangan ICU dan memberitahu kami kabar duka. Maka meledaklah tangis Ningsih setelah mendengar kabar duka tersebut.

Setelah pemakaman nenek, aku memberikan kelonggaran waktu buat Ningsih untuk tidak datang ke kantin untuk sekedar menenangkan diri. Ningsih menolak lantaran dia ingin terus bekerja. Aku pun tidak menolak permintaannya. Ningsih pun bekerja seperti biasa.

Hingga beberapa minggu kemudian, Ningsih memintaku untuk memperbaiki langit-langit kamar rumahnya yang sudah lapuk dan jebol. Aku pun pergi ke sana dengan dibantu beberapa tukang. Saat sedang memperbaiki langit-langit kamarnya secara tak sengaja lemari bukunya jatuh yang menyebabkan buku-bukunya berserakan dilantai.

Aku pun menegakkan lemari buku tadi pada tempatnya dan mulai merapihkan buku-bukunya. Namun entah mengapa aku melihat sebuah Buku Harian berwarna ungu. Ternyata diam-diam Ningsih sering menulis segala sesuatunya di Buku Hariannya. Entah mengapa ada keinginan kuat untuk aku membacanya. Maka ku buka Buku Harian tersebut secara perlahan-lahan halaman demi halaman dan mulai membacanya. Hingga pada halaman akhir, aku menemukan tulisan yang menarik.

Aku tidak habis pikir mengapa Abang Pramudya tetap memperlakukanku selayaknya adik kecilnya. Sepuluh tahun sudah waktu telah berlalu, namun kulihat sikap diri Abang memang tak berubah. Entah kenapa Abang masih memperlakukanku seperti anak berumur delapan tahun ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Padahal saat ini aku sudah menjadi seorang gadis dewasa.

Aku tidak tahu mengapa perasaan ini datang setahun yang lalu. Aku menyadari bahwa di usiaku ini memang sudah sepantasnya mulai mengenal cinta. Setiap kali aku berada di dekat Abang hatiku bergemuruh. Perasaanku menjadi tidak menentu. Ya, aku akui bahwa aku jatuh cinta ke Abang.

Tapi aku hanyalah wanita. Tidak pantas bagi seorang wanita untuk menyatakan cinta kepada laki-laki. Aku tidak tahu apakah Abang punya perasaan yang sama terhadapku ?

Abang Pramudya, tahukah Abang bahwa Ningsih sekarang bukanlah gadis ingusan yang Abang kenal sepuluh tahun yang lalu? Kini Ningsih sudah menjadi wanita dewasa. Ingin sekali Ningsih merasakan manisnya Cinta dan Kasih Sayang layaknya dari seorang pria kepada wanita. Layaknya sepasang kekasih yang saling mencintai. Apakah harapan ini tidak berlebihan ?

Aku menutup Buku Harian itu dan mengembalikan ke tempatnya. Aku pun melanjutkan pekerjaanku memperbaiki langit-langit kamarnya.

Hari-hari berikutnya aku tetap bersikap biasa saja dengan Ningsih. Aku pun mencurahkan fokusku untuk meningkatkan bisnis dan usahaku. Aku pun mendapat bantuan permodalan dari Pak Sumardi, seorang pengusaha tingkat nasional, untuk mengembangkan usahaku. Aku pun menjalankan amanah itu dengan penuh tanggung jawab. Tak heran jika kemudian dari hasil bisnisku aku bisa membeli rumah yang tergolong mewah lengkap dengan kendaraan terbaru. Aku pun bangga pada diriku sendiri.

“Sepertinya ada yang kurang nih, Mas Pramudya”, kata Pak Sumardi ketika berkunjung kerumahku.

“Apa yang kurang Pak? “tanyaku. “Semua perabotannya lengkap. Ada kolam renang, lapangan luas, garasi bisa masuk tiga mobil, lima kamar tidur, tiga kamar mandi, dan ada dua pembantu yang siap membersihkan rumah siang malam juga penjaga rumah di depan”, kataku.

“Ha ha ha, jelas kurang satu!”, katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

“Yang kurang itu adalah Nyonya Rumah!”, katanya sambil terkekeh.

“Rumah itu baru lengkap kalau ada Nyonya Rumahnya. Rumah Mas Pramudya ini jelas gak ada Nyonya Rumahnya. Itu yang Saya bilang tidak lengkap”, katanya sambil terus tersenyum lebar.

“Ah Pak Sumardi bisa saja. Apa ada yang mau dengan bujang lapuk yang sudah berumur 30 tahun kayak saya?”, kataku merendah.

“Mau Saya carikan Mas?”, katanya serius. “Pasti banyak yang mau sama Mas”, katanya lagi.

“Gak usah lah Pak. Soal itu, biar saya yang cari saja”, kataku. Kemudian kami pun kembali membicarakan bisnis dan kemudian makan siang bersama.

Setelah Pak Sumardi pamit dan pergi, entah mengapa perkataannya terngiang di telingaku. Ya memang Rumah Besar nan Mewah ini belum ada Nyonya Rumahnya. Aku pun ternyata memang fokus kepada diriku sendiri. Jujur saja, semenjak kecil aku sudah tidak tahu siapa Ayah dan Ibu kandungku karena sejak lahir sampai berusia 6 tahun aku dirawat di Panti Asuhan sebelum akhirnya aku diangkat anak oleh Seorang Haji keturunan Tionghoa yang jago Wushu. Beliaulah yang membiayaiku sampai lulus SMA sebelum beliau wafat dan kemudian mewariskan seluruh ilmu Wushunya kepadaku. Setelah beliau wafat, aku meneruskan kuliah sambil memberi pengajaran Wushu kepada anak-anak dan remaja. Lama-kelamaan bisnisku pun berkembang sampai sekarang.

Kemudian, tiba-tiba saja ingatanku melayang ke Ningsih. Ya, entah mengapa dalam pikiranku kembali muncul tulisan-tulisan di Buku Harian Ningsih yang tak sengaja kubaca beberapa minggu yang lalu. Semakin lama semakin kuat, bahkan hingga terbawa mimpi. Bahkan aku mengingat janjiku kepada Neneknya Ningsih sebelum meninggal. Keadaaan itu pun berlangsung hingga berhari-hari. Suatu pagi, aku terbangun. Aku masih tertegun di tempat tidur. “Apakah mungkin dialah pendamping hidupku?”, kataku bergumam. “Ya, pastilah dia orangnya”, kataku pada diriku sendiri.

Setiba di tempat Gymnasium aku menelpon Ningsih supaya datang ke Kantin pagi harinya dimana mumpung belum ada yang datang. Tak lama kemudian kulihat Gadis berjilbab putih dengan rok panjang berwarna coklat muda datang menuju kearahku dan mengucapkan salam. Setelah menjawab salamnya aku mempersilahkannya duduk di kursi kantin. Dia pun kemudian duduk.

“Ningsih”, kataku membuka pembicaraan. “Boleh aku mengatakan sesuatu yang sangat penting kepadamu?”, tanyaku.

“Silahkan bang”, katanya sambil menunduk.

“Aku mencintaimu Ningsih”, kataku. Kulihat Ningsih menatap wajahku sambil menyunggingkan senyum kecil.

“Tapi terus terang aku gak mungkin mencintai wanita yang tidak pernah bisa aku miliki”, kataku dengan serius lagi. Kulihat dia kembali menunduk.

“Karenanya, aku ingin memilikimu. Maukah kamu menjadi istriku Ningsih?”, kataku dengan nada yang jelas.

Ningsing menegakkan pandangannya dia pun menatap mataku. Namun kemudian kembali tertunduk dan terdiam.

“Tolong Ningsih, jawab dengan jujur dan segera. Maukah kamu menjadi istriku?”, kataku dengan tegas dan keras.

Tiba-tiba kulihat Ningsih makin tertunduk dan menangis. Air matanya mulai tertumpah. Dia pun menyeka air matanya dengan ujung kain jilbabnya.

“Mengapa kamu menangis? Apakah aku sudah melukai perasaanmu?”, tanyaku dengan nada cemas.

“Bukan Bang. Ningsih menangis bukan karena terluka. Tapi Ningsih terharu. Setiap malam Ningsih berdoa supaya Allah menggetarkan hati Abang untuk membalas perasaan cinta Ningsih yang mendalam ke Abang dan menjadikan Ningsih sebagai kekasih Abang. Tapi rupanya ini melebihi harapan Ningsih. Yang terjadi sekarang, Abang malah meminta Ningsih menjadi istri Abang.  

Jangan tanya lagi Bang keseriusan hati Ningsih. Ningsih sudah pasti setuju diperistri Abang. Ningsih bersedia dinikahi Abang”, katanya sambil menahan tangis.

Aku pun tersenyum dan mengucapkan hamdalah. Segera aku minta Ningsih untuk mengikutiku ke Kantor Urusan Agama terdekat untuk segera mendaftarkan pernikahan.

Tiga hari setelah itu, tepatnya Jumat siang setelah Shalat Jumat, Ruang Aula Kantor Urusan Agama di Kecamatanku menjadi saksi bisu pernikahan antara Aku dan Ningsih. Mengingat kami sama-sama sudah Yatim Piatu maka Ningsih diwalikan oleh Wali Hakim yang disediakan oleh Kantor Urusan Agama dan saksi pernikahan pun diambil dari staf yang sehari-hari bekerja di Kantor tersebut. Pernikahan pun dihelat dengan sederhana. Setelah selesai ijab kabul aku pun memboyong Ningsih ke rumahku dimana dirumahku aku menggelar pesta sederhana yang hanya mengundang lingkungan sekitar dan teman-teman terdekat.

Setelah pesta selesai aku menunaikan Shalat Isya berjamaah bersama Ningsih. Kupandangai Wanita Berjilbab rapi yang kini menjadi istriku. Lalu kukatakan kepadanya

“Sayang, ada yang aku ingin lakukan kepadamu seharusnya dari dulu-dulu. Tapi waktu itu aku gak berani sama sekali”, kataku kepadanya.

“Apa itu bang”, katanya dengan senyum mengembang. Cantik sekali wajahnya!

Tanpa banyak berkata-kata kupeluk dirinya dan kemudian mendaratkan ciuman dibibirnya. Ningsih pun terkaget namun kemudian membuka mulutnya agar lidahku bisa masuk. Kami pun saling mengait lidah dan mulai saling melucuti pakaian kami. Sesaat kemudian, tubuh kami yang sudah tanpa busana dilanda lautan keringat panas, dalam melakukan apa yang belum pernah kami alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang tak pernah dirasakan sebelumnya!

Empat Bulan Kemudian .....

Aku membuka mataku. Ternyata hari sudah siang. Aku masih merasakan kenikmatan semalam dimana aku dan Ningsih tenggelam dalam lautan birahi tanpa tepi. Kemudian, kulihat Ningsih yang masih mengenakan kemben pendek, yang memperlihatkan kedua bahu, dada dan pahanya yang putih mulus, mendekat kepadaku dan kemudian mengecup bibirku.

“Udah siang Bang. Katanya mau ketemuan sama calon investor”, katanya dengan
senyum yang indah.

Aku pun membalas senyumannya. Terlihat perutnya yang membuncit terbungkus oleh kain kembennya. Namun hal itu tidak mengurangi kecantikannya.

“Aku mau ganti baju dulu ah. Kalau pake kemben pendek kayak gini nanti Abang makin malas pergi kerja”, katanya sambil tersenyum genit.

Aku pun membalas senyumannya dengan tersenyum lebar dan bangun dari tempat tidurku untuk kemudian menuju Kamar Mandi untuk mandi. Setelah Mandi aku berpakaian dan menuju meja makan. Ningsih, yang sudah berganti pakaian dengan memakai gamis terusan panjang dipadu dengan celana panjang, menuangkan nasi goreng ke atas piring dan menyerahkannya kepadaku.

“Lho, kamu gak makan?”, tanyaku. “Kasian anak kita Sayang”, jawabku dengan nada memelas.

“Gak apa-apa Bang. Nanti aku pasti makan. Abang dulu yang makan”, katanya dengan senyum yang indah.

Selesai sarapan aku pun berangkat. Kembali kukecup bibirnya dan dia membalas dengan senyum indah. Kusibakan rambut ikalnya dan kukecup keningnya. Ningsih pun membalas dengan senyuman yang memperlihatkan deretan gigi putihnya.

“Kamu cantik sekali Sayang”, kataku. “Aku pergi dulu. Titip bayi kita. Assalamu’alaikum”, kataku.

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuhu. Hati-hati di jalan Bang. Jangan lupa banyak doa”, katanya.

Kulihat senyumnya mengembang dan mulai melambaikan tangannya sesaat mobilku bergerak maju. Ku pandangi wanita cantik berkulit putih dan berambut ikal tersebut tersenyum kepadaku. Kemudian kupacu kendaraanku menyusuri jalanan yang masih lengang tersebut. Langit pagi itu benar-benar indah. Seindah kehidupanku yang makin berwarna akan kehadirannya!


Inspired by “Gadis Kecilku” by anonymous author in Saung Angklung Udjo


Jakarta, 20 Oktober 2015




Tidak ada komentar:

Posting Komentar