Senin, 12 Oktober 2015

Cerita Fiksi II




“Aku ingin putus denganmu”, katanya sambil melebarkan sepasang matanya yang bulat dan indah.

“Aku tak bisa menunggu lebih lama. Dalam hitungan hari aku akan diwisuda. Sedangkan kau? Hanya Tuhan saja yang tahu kapan kau akan lulus!”, katanya dengan nada meninggi dan ketus.

“Berikan aku waktu!”, sergahku kemudian. “Aku akan memperbaiki semuanya. Skripsi akan kuselesaikan dalam waktu dekat”, kataku sambil mencoba meyakinkannya.

“Dalam waktu dekat?”, katanya sambil nyinyir. “Kau sudah ucapkan itu setahun yang lalu! Bahkan berkali-kali”, sambungnya lagi. “Sudah bosan telinga ini mendengarnya!”.

“Dengarkan aku!”, kataku juga dengan nada tinggi. “Aku sedang berusaha menyusun skripsiku. Pagi ini aku sudah bertemu dengan Dosen Pembimbingku. Beliau sudah setuju dengan Tema yang kuajukan. Dalam hitungan semester aku pasti bisa lulus”, kataku sambil menjelaskan.

“Apa yang membuatmu yakin akan hal itu? Sudah lebih dari tiga kali kau menyampaikan hal yang sama. Skripsi pasti selesai. Buatku kau sudah tidak ada harapan lagi!”, katanya sambil berdiri lalu pergi meninggalkan aku.

“Aline tunggu !”, kataku sambil berdiri dan berusaha mengejar. Namun sayang langkahku terhenti oleh pelayan kafe yang meminta supaya bon minumanku dan Aline supaya dibayar. Dasar sial! Rupanya dompetku tertinggal di meja. Segera saja aku mengambil dompet diatas meja, mengeluarkan uang dari dompet untuk membayar dan segera pergi dari kafe tersebut. Tapi sayang, Aline sudah keburu menghilang.

Aku pun berjalan pelan meninggalkan Kafe tersebut. Sambil melangkah aku memutar kembali memori kehidupanku.

Sejujurnya, pada awalnya kuliahku memang dibiayai oleh Ibu yang juga membiayai pendidikanku dari TK hingga perguruan tinggi. Sejak usiaku masih 3 tahun aku sudah ditinggal ayah. Ibu membesarkan aku dan adik perempuanku Ratri hingga besar. Namun segalanya berubah ketika aku menginjak Semester 4 kuliahku. Ibu terserang stroke sehingga terpaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai Buruh Cuci di beberapa rumah di sebuah Perumahan Elit di pinggiran Ibu Kota ini.

Aku akhirnya mengambilalih sebagai pencari nafkah dikeluarga. Karena ketiadaan biaya aku terpaksa merawat Ibu dirumah sambil diterapi di klinik pijat yang tidak jauh dari rumah. Aku pun berusaha bekerja keras sambil tetap kuliah. Beragam profesi sudah kujalani. Mulai dari penjual koran, ngamen di Terminal Bus, sampai menjadi Sales Asuransi.

Inilah awal mengapa kuliahku tersendat. Di semester kedua aku menjalin hubungan asmara dengan Aline. Mahasiswi cantik bintang Kampus putri seorang pejabat di instansi pemerintah ternama. Aku tidak tahu mengapa dia tertarik padaku. Mungkin karena aku pandai memainkan alat musik sambil bernyanyi dengan merdu, dia tertarik padaku. Di sela-sela kuliah aku juga senantiasa berlatih musik sendiri karena sebagai pengamen aku ingin mendapatkan uang lebih dari penumpang. Dari pengalamanku, rata-rata penumpang bus di terminal amat senang apabila aku bisa membawakan lagu dengan teknik suara yang baik dan merdu.

Kejadian tadi rupanya menyadarkan Aline bahwa aku memanglah lelaki yang tidak bisa diharapkan. Akibat keasyikan bekerja untuk menghidupi Ibu dan adikku, kuliahku jadi tersendat. Aku tidak berani mengambil banyak mata kuliah lantaran takut menyita waktu bekerjaku. Akibatnya kuliahku menjadi lama. Sementara Aline mampu menamatkan tiap semester dengan lancar. Lagi pula aku juga bukanlah orang jenius di perkuliahan. Indeks Prestasiku tidak begitu spektakuler meskipun masih diseputar tiga koma. Berbeda dengan Aline yang selalu mendapatkan nilai yang hampir sempurna di tiap-tiap semesternya.

Aku pun sampai di Halte Busway dan kemudian menunggu bus untuk bisa pulang ke rumah. Disaat sedang menunggu bus, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Ternyata Ratri menelepon.

“Dimana Kak?”, katanya sambil menangis.

“Ada apa Ratri? Kakak masih di halte bus. Sebentar lagi pulang”, kataku

“Ibu Kak... Ibu...., jatuh sakit. Sekarang di rumah sakit”, katanya

Aku pun mempercepat langkahku segera menuju ke Rumah Sakit.

Akhirnya Ibu pun di rawat di kelas tiga sesuai dengan Kartu Indonesia Sehat yang dimiliki beliau. Setelah menjalani perawatan selama 2 bulan beliau pun diperbolehkan pulang. Namun dokter menyarankan agar beliau berhenti bekerja sama sekali dari pekerjaan yang sama sekali menguras aktivitas fisik. Praktis, kini semua beban utama untuk mencari nafkah terletak di pundakku. Menyebabkan aku semakin lama semakin tenggelam dalam pekerjaan sehari-hari. Meskipun demikian aku tetap menekuni kuliahku karena Ibu ingin melihat aku diwisuda sebagai Sarjana. Karenanya aku bisa melupakan Aline dan kemauannya untuk putus.

Tiga Tahun Enam Bulan kemudian.....

“Aha!, Ini yang Saya tunggu-tunggu. Ayo masuk mas!”, kata Pak Yanto sambil memperlihatkan muka yang berseri-seri.

Sore itu, aku pun melangkah ke dalam ruangan di Lantai 11 di sebuah Gedung Kantor ternama di Jakarta. Dimana banyak orang berpenampilan rapi dengan jas dan dasi mereka yang duduk dan menatapku. Pak Yanto, pemilik perusahaan itu, memperkenalkan diriku kepada semua yang hadir. Yang ternyata adalah Jajaran Direksi dan Komisaris perusahaan miliknya.

Aku pun mempresentasikan skema pembiayaan yang cocok dengan bisnis perusahaan Pak Yanto. Aku pun menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan menyebutkan banyak referensi bisnis. Semua yang hadir tampaknya puas dengan presentasiku.

 “Jadi bagaimana?”, tanya Pak Yanto. “Apakah kita sepakat dengan skema Project Financing yang ditawarkan Mas Bram ini Bapak-bapak sekalian?”, tanya beliau.

“Kami putuskan bahwa PT Angkasa Energindo akan menggunakan skema Project Financing yang ditawarkan oleh Mas Bram selaku wakil dari PT Investment Indonesia !”, kata Pak Bambang selaku Direktur Utama perusahaan PT Angkasa Energindo milik Pak Yanto.

“Baiklah kalau begitu. Mari sekarang kita langsung tanda tangan MoU saja. Supaya Project Financing ini bisa secepatnya direalisasikan!”, kata Pak Yanto. “Tolong Dyah, Evy dan Nila siapkan draftnya segera!”, perintah Pak Yanto kepada  tiga wanita yang berdiri di pojok ruangan.

Setelah tanda tangan MoU semua yang hadir bertepuk tangan. Kesepakatan bernilai Rp 5 Trilyun itu sudah selesai ditandatangani.

Acara pun dilanjutkan dengan ramah tamah. Semua Direksi dan Komisaris ikut menyalamiku. Termasuk Pak Syamsir, Direktur Keuangan.

“Maaf Mas Bram, saya lupa memperkenalkan pada Mas Bram. Ini Sekretaris Saya yang baru. Baru bergabung 3 bulan yang lalu”, kata Pak Syamsir sambil menunjuk ke seorang wanita berkulit putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping. Mengenakan stelan blazer dan celana panjang warna biru tosca dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai.

Aku melihat kearahnya. Wajahnya tidak lagi asing buatku. Ya, dialah Aline. Gadis yang pernah menjadi bagian dari kisah cintaku ketika kuliah dulu.

“Kenalkan, Dyah”, katanya sambil mengulurkan tangannya yang halus. Aku pun mengulurkan tanganku untuk menyalaminya, “Bram”, jawabku singkat.

“Oh ya, Dyah. Pak Bram ini adalah investor strategic kita untuk Proyek Power Plant kita di Kalimantan Selatan. Perusahaannya sudah sepakat menanamkan dana Rp 5 Trilyun untuk proyek ini. Tolong ajak beliau meninjau ruangan perusahaan kita. Terutama informasi terkait dengan proyek yang akan kita bangun dan aspek keuangannya”, demikian perintah Pak Syamsir.

“Baik Pak Bram. Silahkan ikuti saya”, kata Aline sambil mempersilahkan aku untuk mengikutinya.

Aku pun mengikuti langkah Aline menuju ke ruangan sebelah. Di ruangan itu terdapat maket Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang sangat besar dan lengkap dengan foto-foto pembangunan yang tergantung di dindingnya. Aline pun memberikan penjelasan secara lengkap tentang proyek tersebut. Namun aku, entah mengapa, tidak begitu tertarik untuk mendengarkannya.

“Boleh aku bertanya?”, kataku menyela pembicaraan. “Mengapa kamu memperkenalkan dirimu dengan nama Dyah?”, tanyaku.

“Itu masih namaku Bram. Aline Dyahmawati”, katanya namun kali ini dia langsung tertunduk.

“Selamat atas kelulusanmu tiga setengah tahun yang lalu. Seharusnya, aku mengucapkan selamat. Tapi Ibuku waktu itu sakit keras dan dirawat dirumah sakit. Jadi aku belum sempat ke acara wisudamu”, kataku lagi.

“Juga sekali lagi aku ucapkan selamat. Dari yang kudengar, kamu mendapatkan Cum Laude dan diumumkan dalam acara wisuda tersebut mendapatkan Gelar Wisudawan terbaik di kampus kita. Aku ikut bangga padamu”, kataku lagi.

“Terima kasih Bram. Sudah tiga setengah tahun, kamu tetap tidak berubah”, katanya kali ini dengan nada yang merendah.

“Bram”, katanya lagi, “Aku minta maaf”, katanya dengan nada yang sedikit lirih.

“Maaf untuk apa?”, tanyaku sambil berpura-pura keheranan.

“Aku minta maaf, karena waktu itu aku terlalu cepat memutuskan hubungan cinta kita”, katanya. “Seharusnya, aku bersabar karena kamu menunda kuliah bukan karena malas atau bodoh. Tapi lebih kepada keadaan keluarga”, katanya dengan setengah terbata.

“Ah sudah lah”, jawabku. “Itu sudah menjadi masa lalu yang sudah kutinggalkan. Ketika kau melangkah keluar dari Kafe itu, aku sudah menerima keadaan dan memaafkanmu. Meskipun butuh berhari-hari untuk menghilangkan rasa sakitnya”, jelasku. Kemudian, kami pun saling terdiam.

Di saat kami sedang terdiam, tiba-tiba muncul Pak Yanto. Dia memintaku untuk foto bersama dengan seluruh Jajaran Direksi, Komisaris dan juga dirinya sebagai pemilik perusahaan. Tak lupa, dia pun memerintahkan Aline alias Dyah untuk mengurus segala keperluan untuk foto bersama. Selesai acara foto bersama aku pun pamit ke Pak Yanto dan seluruh jajaran Direksi dan Komisaris mengingat hari sudah menjelang malam.

 Aku melangkah ke arah parkiran dimana sebuah sedan buatan pabrikan terkenal asal Jepang keluaran tahun terbaru sudah menunggu lama disana. Segera aku masuk ke dalamnya, memutar kunci dan mengendarainya secara perlahan.

Ketika keluar gedung parkir hujan turun dengan deras. Aku pun mengarahkan kendaraan ku keluar melalui lobi untuk kemudian ke gerbang keluar. Ketika akan melintas lobi kulihat Aline sedang berdiri menunggu disana. Aku pun menghentikan kendaraanku tepat di depannya dan membuka kaca jendela.

“Mau ikut denganku atau ada yang akan menjemput?”, tanyaku dengan suara agak keras.

Aline tidak menjawab dia pun menuju pintu mobilku. Aku membuka kunci otomatis sehingga memudahkan dia masuk ke mobilku.

“Aku antar kamu pulang. Rumahmu masih disana kan?”, tanyaku. Dia pun mengangguk pelan.

Aku pun melajukan mobilku keluar dari gedung kantor tersebut. Sebentar saja aku sudah masuk ke Jalan yang ramai oleh kendaraan.

“Tidak seperti biasanya. Kau banyak terdiam kali ini,” kataku mencoba membuka pembicaraan.

“Bagaimana kabarnya Adam Harsono?”, tanyaku sambil memindahkan tuas gigi transmisi kendaraanku.

“Kamu tahu dari mana, Bram?”, tanyanya kali ini dengan menengokkan kepalanya mengarah kepadaku.

“Jaman sekarang aku bisa melihat profile Facebook-mu. Tertulis kamu sedang menjalin hubungan dengannya”, kataku dengan nada meyakinkan.

“Sudah putus”, jawabnya lagi.

“Wah berarti, kamu harus cepat-cepat up date status tuh!”, kataku sambil tertawa. Tapi dia malah terdiam. Kulajukan kendaraanku agak lebih cepat dari biasanya.

Kemudian, tak lama kemudian mobilku pun berhenti di lampu merah dekat persimpangan menuju rumahnya. Aku pun mulai menyetel radio untuk membuat suasana meriah karena setelah pertanyaan tadi Aline lebih banyak terdiam.

Setelah lampu berubah menjadi hijau aku pun membelokan mobil ke arah rumahnya. Aku mengendarai mobil sambil bersenandung mengikuti irama lagunya Celine Dion yang diperdengarkan oleh radio mobilku. Aline masih terdiam.

“Bram”, katanya secara tiba-tiba. “Apakah kamu sekarang sudah bersama orang lain?”, katanya lagi.

“Ah, bercanda kamu. Mana ada gadis yang mau dengan cowok urakan dan begajulan sepertiku? Jelaslah aku masih sendiri. Tapi itu sekarang bukan persoalan berarti buatku”, kataku dengan nada yang tegas. “Ternyata enak juga menjomblo tapi banyak uang seperti ini”, jelasku kepadanya namun dengan nada seperti mengejek.

“Maukah kamu menerima aku lagi Bram?”, katanya dengan suara perlahan.

Seketika kuinjak rem. Menyebabkan kendaraan berhenti mendadak. Untungnya jalanan dalam keadaan sepi sehingga tidak ada kendaraan yang menabrakku dari belakang.

Aku menepikan kendaraanku dan memberhentikannya.

“Aline tolong dengarkan aku”, kataku. “Semenjak kau pergi dariku waktu itu, bagiku cerita indah soal cinta kita sudah selesai. Pada saat itu secara bersamaan Ibuku masuk Rumah Sakit. Namun setelah kupikir-pikir itulah hikmahnya. Supaya aku dapat cepat melupakanmu dengan mudah.”

“Bagiku engkau adalah masa lalu yang selalu kujadikan pelajaran berharga dalam hidupku. Namun demikian aku sangat berterima kasih kepadamu karena pernah menjadi bagian penting yang mengisi cerita kehidupanku”.

“Maafkan aku Aline. Aku sudah berubah. Aku sudah move on. Tolong kamu hargai keputusanku”, kataku.

Aline terdiam. Kembali kujalankan mobilku menuju rumahnya.

Aku pun berhenti tepat didepan rumahnya. Saat itu hujan sudah reda. Aline pun turun dari kendaraanku dan mengucapkan terima kasih atas kesediaanku mengantarnya.

“Maaf aku gak bisa mampir. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan”, kataku. Sesaat kemudian aku pun melajukan mobilku dan meninggalkannya.

Menjelang tengah malam kuputuskan untuk mampir disebuah restoran 24 jam tempat aku biasa makan. Setelah memesan makanan aku pun duduk tidak jauh dari jendela yang dekat dengan mobilku.

Sesaat kemudian Telepon Genggamku berbunyi. Rupanya ada SMS masuk. Setelah kubuka ternyata dari Aline.

Bram, aku tahu aku telah berbuat salah kepadamu. Tapi apakah kamu harus berbuat sekejam ini kepadaku? Apakah kita tidak bisa bersatu bagai dulu lagi ?

Aku tidak menghiraukan isi SMS tersebut. Setelah pesananku datang aku pun menyantapnya. Setelah selesai dan membayar, aku pun kembali ke rumah.

Sepanjang perjalanan pulang ingatanku kembali kepada masa-masa dimana aku baru saja putus dari Aline. Aku memang mengejar ketinggalan kuliahku sambil mencoba fokus bekerja sebagai Sales Asuransi. Meskipun agak tersendat namun aku berhasil  menamatkan skripsiku setelah 2 semester. Aku berterimakasih kepada Ratri, adikku, yang dengan sabar menghibur hatiku agar aku mencurahkan perhatianku ke kuliah dan pekerjaan serta melupakan kisah cintaku dengan Aline. Tak lupa sering mengingatkanku kalau aku akan mendapatkan Gadis yang lebih baik dari Aline. Di saat yang bersamaan saat itu perusahaan asuransi tempatku bekerja membuka lowongan sebagai Agen Penjual Reksa Dana. Aku pun melamar dan berhasil lulus ujian sertifikasi sebagai Agen Penjual Reksa Dana. Dari situ aku berpindah profesi dari Sales Asuransi menjadi Agen Penjual Reksa Dana.

Dari situlah karirku menanjak dengan cepat. Seiring makin banyaknya reksa dana yang berhasil kujual maka aku pun menjadi incaran perusahaan-perusahaan investasi untuk bisa bekerja pada mereka. Aku pun tidak berpuas diri. Seluruh sertifikasi di bidang Pasar Modal aku raih dalam waktu kurang dari setahun. Mulai dari Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Penjamin Emisi, dan Wakil Manajer Investasi. Juga tidak ketinggalan Sertifikasi Internasional  di bidang Analis Keuangan berhasil aku raih. Tak heran akhirnya aku berhasil di rekrut oleh PT Investment Indonesia sebagai Direktur di sana kurang lebih setahun yang lalu. Aku berhasil membawa banyak perusahaan untuk Go-Public. Juga banyak perusahaan yang berhasil merestrukturisasi hutang dan bisnisnya melalui tangan dinginku. Sehingga tak heran jika pengusaha sekelas Pak Yanto tertarik untuk berbisnis dengan perusahaanku.

Hari-hari berikutnya, aku lebih memilih sibuk meeting dengan Pak Yanto dan Jajaran Komisaris serta Direksi perusahaannya. Terkadang Aline alias Dyah juga hadir namun hanya membantu mengurus dokumen-dokumen yang menjadi tanggung jawab Pak Syamsir. Aku pun tetap bersikap acuh tak acuh kepadanya dan tidak memberikan kesempatan buatnya untuk mendekat kepadaku.

Aku bersyukur proyek kerjasama investasi ini berjalan dengan mulus. Ternyata Pak Yanto mendorong perusahaan lain di grupnya untuk bekerjasama dengan perusahaanku. Semakin lama bisnis Pak Yanto dan grup perusahaannya semakin berkembang. Membuat rekening bankku makin lama makin bertambah gemuk. Akhirnya aku bisa membawa Ibuku, Ratri dan suaminya keliling Eropa, Asia, Australia, Amerika bahkan Afrika. Tidak lupa kami pun menunaikan Ibadah Haji sekeluarga sebagai bentuk rasa syukur. Seluruh keluargaku menjadikan aku sebagai kebanggaan mereka.

Delapan bulan kemudian .......

Aku menyalaminya. Aline tampak sangat cantik dengan Gaun Pengantin Adat Minang yang dikenakannya. “Selamat”, kataku. “Jadilah istri yang baik buat suamimu”, kataku lagi.

Aline tersenyum getir. Tampak jelas raut penyesalan dari wajahnya. Namun aku sudah bertekad menjadikannya bagian dari masa laluku. Aku pun menghilang dari hadapannya untuk kemudian menuju ke Gedung Parkir.

Kuhidupkan kendaraanku dan ku pacu menuju jalanan ibu kota yang masih sedikit lengang. Sambil mendengarkan Michael-Learns-To-Rock yang mengalun dengan indah ku pacu kendaraanku sambil sesekali menatap langit. Kurasakan Langit Jakarta begitu cerah dan indah! Secerah hatiku yang sedang asyik bersenandung.


Inspired by Short-Story, “Mantan” by Alan Budiman

Jakarta, 30 September 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar