Pengantar
:
Saya
mencoba menulis Fiksi pada Blog ini. Mudah-mudahan bisa dinikmati. Jika ada
kekurangan silahkan menyampaikan kritik dan saran ke samudra.gunadharma@gmail.com . Selamat membaca!
Lelaki
Misterius nan Menawan
Sore
itu, seperti biasa, aku duduk-duduk di warung rokok yang terletak diujung
jalan. Sambil mengawasi gerobak gorenganku aku berbincang-bincang dengan Mpok
Danu, si pemilik warung rokok. Pembicaraan kami pun hampir sama dengan hari-hari
yang lalu. Mulai dari gosip artis, permasalahan kehidupan, sampai terkadang
hanya sekedar canda ria.
Ketika
sedang asyik bercengkerama, tiba-tiba Mas Tarsidi si tukang parkir berteriak,
“Wooii Teh Risma, tuh ada yang mau beli gorengan!”.
Aku
pun bergegas menuju ke gerobak gorenganku. Terlihat seorang lelaki memakai
jaket kulit hitam tengah berdiri dekat gerobakku. Dia mengamati tumpukan
gorengan yang sangat banyak yang ada di etalase kaca gerobakku. Maklum saja,
dari tadi siang belum ada seorang pun yang membeli gorenganku.
Aku
menemuinya. Dia melemparkan senyum sambil berkata, “Beli gorengannya mbak.
Sepuluh Ribu Rupiah saja!”.
“Dicampur
Pak?”, tanyaku kemudian. “Tempe, Tahu dan Bakwan saja. Perbanyak tahunya ya!”,
katanya sambil menyerahkan selembar uang sepuluh ribu.
Aku
langsung membungkus pesanannya. Sambil memilih gorengan dia berkata, “Wah,
cepat juga layanannnya. Suasana sore begini memang enak makan gorengan!”,
sambil mengambil bungkusan gorengan dari tanganku dengan tetap tersenyum.
Setelah itu dia pun pergi.
Beberapa
hari kemudian…..
Aku
tidak tahu harus berbuat apa lagi. Panas badan anakku, Dinda, semakin meninggi.
Aku bingung karena aku sama sekali tidak punya uang untuk membawanya ke dokter.
Kegagalan pernikahan sampai dua kali yang kualami membuatku harus berjuang
sendirian menghidupi Dinda dan aku di pinggiran Ibu Kota yang kejam ini. Namun
hari itu aku terpaksa harus berjualan, karena ketika kucoba meminta bantuan
utang ke tetangga sekitarku mereka pun dalam kondisi yang tidak memiliki banyak
uang.
Sore
menjelang Maghrib, cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan turun dengan cukup
deras. Aku tidak duduk di Warung Mpok Danu karena kebetulan sedang tutup
lantaran dia sedang menghadiri pesta pernikahan sepupunya di Bogor. Aku
terpaksa memasang tenda sederhana di gerobakku. Aku duduk termangu. Memikirkan
Dinda yang sedang sakit dan terpaksa kutitipkan ke Mak Encum, nenek tetanggaku
yang baik hati. Aku tidak bisa berbuat banyak lantaran gorenganku masih tersisa
banyak. Aku membutuhkan banyak uang untuk sekedar menyambung hidup dan membawa
Dinda ke Dokter. Tanpa terasa, air mataku meleleh di pipi.
“Kok
bengong sih Mbak ?”, kata seorang lelaki yang berdiri dibelakangku. “Dari tadi
saya bilang mau beli gorengan mbak diam saja”.
Aku
pun tersadar. Mulai mengusap air mataku. Ketika ku balikan badan betapa
terkejutnya aku. Ternyata dia adalah lelaki yang sama ketika membeli gorengan
beberapa hari lalu ! Mengenakan jaket kulit hitam dan bercelana jeans serta
bersepatu kets warna putih. Aku segera merapikan penampilanku. Ku akui aku
belum sempat berganti pakaian. Sore itu aku hanya mengenakan kaos berkerah
dengan celana jeans tiga perempat.
“Saya
lagi ada acara pertemuan dengan teman-teman kantor. Jadi saya beli semua
gorengannya !”, katanya kepadaku.
Betapa
terkejutnya aku! Disaat aku sedang kesulitan keuangan, ternyata ada orang yang
datang menolongku. Dengan sigap aku segera membungkuskan semua gorengan yang
ada dan menyerahkannya ke tangannya. “Semuanya jadi empat puluh ribu Pak!”,
kataku.
Sambil
tertawa kecil, dia menyerahkan selembar uang seratus ribu. “Ambil saja
kembaliannya mbak! Kebetulan, saya baru dapat proyek di luar daerah.
Hitung-hitung bagi rejeki!”, katanya sambil tersenyum dan berlalu.
Aku
pun terbengong-bengong dengan ulahnya. Belum sempat kuucapkan terima kasih dia
sudah menghilang di ujung jalan. Dengan segera, aku menutup gerobakku dan
membawanya ke tempat penitipan dan aku langsung pulang ke rumah kontrakanku.
Untuk kemudian membawa Dinda ke dokter.
Syukurlah ternyata Dinda hanya demam biasa. Ternyata biaya pengobatannya hanya menghabiskan uang Tiga Puluh Ribu Rupiah saja. Sehingga aku ada sisa uang Tujuh Puluh Ribu Rupiah. Sisa itulah aku belikan Dinda makanan di restoran McDonald tak jauh dari gang dekat rumah. Maklum, Dinda sangat menginginkan sekali bisa makan di McDonald dari dulu. Ketika melihat Dinda makan dengan lahap aku menangis haru! Haru, karena baru kali ini aku bisa memenuhi keinginan Dinda dari dulu!
“Kok
mama nangis sih ?”, kata Dinda. “Khan, Dinda sudah sembuh. Eh iya, makasih ya
mah! Mamah bisa membawa Dinda kesini. Nanti Dinda rajin-rajin berdoa, semoga
Mamah bisa sering bawa Dinda kesini”, katanya dalam ekspresi yang polos.
Aku memeluk anakku satu-satunya itu sambil menahan tangisku. Aku berkata, “Iya, Mamah percaya Dinda pasti baik sama Mamah. Doain Mamah ya sayang!”.
Boleh
dikatakan, Dinda adalah satu-satunya harapanku untuk menjalankan kehidupan yang
sangat keras ini. Dia adalah buah cintaku dari suami keduaku, yang entah kenapa
pergi memilih wanita lain yang lebih menjanjikan padahal banyak orang yang
bilang aku lebih cantik ketimbang kekasihnya. Sebelum menikah dengannya aku
sudah pernah menikah dengan seorang duda yang bertetangga dengan kampung orang
tuaku. Aku menyetujuinya lantaran orang tuanya sudah lama berteman dengan orang
tuaku. Namun aku hanya bertahan dua tahun dengannya, karena setiap hari dia
selalu rajin menyakiti badanku. Entah sudah berapa banyak tendangan, tamparan
dan pukulan yang kuterima. Untunglah orang tuaku mengerti sehingga perceraianku
dengan sang duda tersebut berlangsung dengan cepat dan mulus.
Enam
bulan kemudian, bertepatan dengan ulang tahunku yang ke dua puluh tahun aku bertemu dengan teman sepermainanku waktu kecil yang bekerja
di Ibu Kota. Tanpa banyak berpikir, aku menerima lamarannya dan kedua orang
tuaku setuju untuk menikahkanku. Tak lama kemudian, aku dibawa ke pinggiran Ibu
Kota. Awalnya, aku cuma menjadi ibu rumah tangga biasa. Kehadiran Dinda dalam
kehidupan kami berdua memberikan arti yang sangat penting bagi sebuah keluarga.
Namun ternyata, kebahagiaan itu tidak lama, tepatnya hanya bertahan empat tahun saja. Suamiku terkena Pemutusan Hubungan
Kerja di pabriknya dan menjadi penganggur. Aku pun berinisiatif membantu ekonomi
keluarga dengan menjadi penjual gorengan. Aku pun mengambil fungsi sebagai
pencari nafkah di dalam keluarga.
Agaknya
dari situlah awal keretakan hubungan keluarga kami. Setiap hari suamiku pergi
dari rumah pagi-pagi dan baru pulang malam. Itu pun sama sekali tidak membawa
uang. Ketika aku tanya dia hanya marah-marah. Puncaknya, aku mengetahui bahwa
dia sedang menjalin cinta dengan putri seorang penjaga sekolah yang masih duduk
di bangku SMU. Hubungan cinta mereka ternyata terlanjur jauh sehingga kekasihnya
kini tengah mengandung buah cinta mereka.
Hatiku
hancur. Yang lebih menyakitkan, dia sama sekali tidak menyesali perbuatannya.
Bahkan dia makin mantap untuk menceraikanku dan akan menikahinya. Ketika kabar
itu sampai ketelinga orang tuaku Bapakku dikampung langsung jatuh sakit dan tak
lama kemudian meninggal dunia. Tak tahan ditinggal Bapak, Ibu ku pun akhirnya
juga menyusul Bapak beberapa bulan kemudian. Praktis, kini aku benar-benar
sebatang kara. Kini, hanya Dinda-lah satu-satunya alasan mengapa aku harus
terus bertahan. Dimana hal tersebut sudah berlangsung selama dua tahun belakangan.
Malam
itu Dinda tertidur dengan nyenyak. Aku bisa melihat senyum ditidurnya. Ya, dia
tampak bahagia karena keinginan terbesarnya sudah terkabul. Aku memandangnya
dengan terus menahan tangis haruku. Setelah kuselimuti Dinda, aku terduduk di
kasur. Aku merenungi kejadian yang kualami. Akhirnya aku berpikir, justru
disaat yang genting lelaki misterius itu menjadi penyelamatku!
Keesokan
harinya, di waktu Sore, aku kembali berjualan gorengan seperti biasa. Hari itu,
aku sangat lelah karena entah mengapa banyak yang datang ke gerobakku membeli
gorengan. Dalam waktu tiga jam sejak kubuka maka gorenganku ludes. Ketika aku
akan menutup gerobakku, ternyata lelaki yang sama datang lagi.
“Mbak,
beli gorengannya”, katanya. “Wah habis, Pak!,” kataku.
Dia
pun terlihat kecewa, namun ketika akan pergi, aku teringat kalau aku masih
menyimpan tiga potong tahu isi ukuran besar yang belum sempat aku goreng di
dalam gerobak. Aku pun langsung memanggil lelaki tersebut.
“Pak,
tunggu!”, kataku mendekat. “Kalau Bapak mau menunggu, saya akan gorengkan tahu
isi buat Bapak. Ukurannya besar Pak, tapi Cuma tinggal tiga potong. Bagaimana
Pak?”.
“Yaa,
boleh lah. Daripada tidak dapat apa-apa”, katanya. Dia pun duduk dekat
gerobakku.
Aku
pun mulai menggoreng ketiga tahu isi ukuran besar tersebut. Kucoba berbincang
dengannya, sambil berterimakasih kepadanya atas uang seratus ribu rupiah yang
diberikannya kemarin. Ternyata dia menjawab dengan ramah! Dia juga bercerita,
kalau dia lebih sering menggunakan angkutan umum untuk pergi ketempat kerjanya karena
lebih irit.
“Ini
Pak, gorengannya”, kataku sambil menyerahkan bungkusan tahu isi tersebut. Dia
pun menyerahkan selembar uang dua puluh ribu rupiah sambil berkata, “ambil saja
kembaliannya mbak”. Sambil tersenyum dia pun menambahkan, “sayang sekali, penjualnya
kurang berdandan. Untung dagangannya hari ini laku keras!”, candanya sambil
berlalu dihadapanku.
Aku
hanya memperhatikan langkahnya yang semakin lama semakin menjauh kemudian
menghilang di ujung jalan. Entah mengapa, kata-katanya terngiang di telingaku.
Aku mulai menyadari kalau selama ini, aku kurang memperhatikan penampilanku.
Ya, karena penjual gorengan identik dengan orang yang kurang rapi, harus selalu
kumal dan tidak perlu merias diri. Kata-katanya membekas dan menghujam ke dalam
hatiku.
Keesokan
paginya aku mulai merias diriku. Pagi itu, aku berdandan. Memilih pakaian
terbaiku sebelum berangkat berjualan. Dinda yang melihatku berdandan memuji
penampilanku. “Mamah cantik”, katanya. Aku tersenyum dan mencium pipinya.
Kemudian aku menitipkan Dinda ke tetangga untuk kemudian berangkat ke tempat
penitipan gerobak untuk berjualan.
Aku
sibuk melayani pembeli yang datang membeli gorengan. Meskipun banyak yang
datang tapi masih ada sedikit tersisa gorengan yang kugoreng tadi pagi.
Tiba-tiba saja, menjelang sore, hujan turun dengan deras. Aku segera memasang
tendaku dan berdiam diri. Kupandangi sisa gorengan yang ada sambil duduk
berteduh dari hujan yang deras. Entah mengapa, aku rindu pada sosok lelaki
misterius yang sering membeli gorenganku. Ya, aku rindu didatangi olehnya.
Rindu, supaya ia datang kepadaku.
Aku
melihat seorang lelaki berkemeja biru berlari kearahku. Ternyata, dia datang!
Tidak mengenakan jaket kulit seperti kebiasaannya. Dia langsung masuk ke
tendaku sambil mengusap kepalanya yang basah terkena hujan.
“Aha!
Ternyata masih ada. Saya beli gorengannya ya mbak!”, katanya sambil mengusap
sisa-sisa air di kemejanya.
“Kehujanan
Pak?”, kataku. “Eh, ini tinggal sedikit. Apa semua saja ya Pak?”, tanyaku
kemudian.
“Eh,
iya. Tadi baru turun dari angkot. Tiba-tiba hujan deras”, katanya lagi.
Aku
pun membungkuskan semua gorengan yang tersisa dan menyerahkannya. Dia pun
memberikanku selembar uang lima puluh ribuan. “Ambil saja semuanya”, katanya.
Sepertinya dia akan pergi karena kulihat dia mengeluarkan selembar koran dari
tasnya yang akan digunakan sebagai payung.
“Pak,
kenapa gak berteduh saja disini. Hujannya deras, Pak. Nanti Bapak malah sakit”,
kataku yang entah kenapa ingin dia tidak langsung pergi dari tempatku.
“Ya,
baiklah. Tunggu reda dulu”, katanya. Dia pun duduk ditempat duduk dekat
gerobak. Aku pun duduk disampingnya.
“Boleh
tahu nama Bapak?”, kataku.
“Ya,
saya Rifan. Mbak namanya siapa?”, tanyanya lagi.
“Risma,
Pak”, kataku.
“Jangan
panggil Pak dong. Saya kan belum tua banget,” katanya.
“Iya
deh, saya panggil om saja”, kataku.
“Lho,
emangnya saya om-om yang suka godain ABG?”, katanya.
Aku
pun tertawa mendengar omongannya. “Terserah Risma, mau mas, abang atau akang.
Risma orang sunda khan ?”, katanya lagi.
“Kok
mas bisa tahu?”, kataku agak heran.
“Dari
logatnya”, katanya, “Sunda pisan. Tapi saya gak bisa ngomong sunda lho”, sambil
tersenyum.
Aku
tersenyum kepadanya. Baru kali ini di dalam hatiku ada getaran lain. Ya, aku
merasakan kehangatan yang tidak biasanya dari diri Mas Rifan. Dia begitu
berwibawa. Dari pakaian yang dikenakan aku mengira dia bukan orang sembarangan.
Dari caranya berbicara, dia sosok yang cerdas. Getaran hati ini makin terasa
karena dia ternyata pandai bercanda. Belum pernah, aku tertawa selepas ini
bersama dengan lelaki yang asing.
Tiba-tiba
saja petir bergemuruh dengan kencang. Angin pun bertiup dengan kerasnya.
Menerbangkan sampah yang bertebaran di jalan. Dengan refleks, aku melompat dari
kursiku dan memeluk tubuh Mas Rifan. Mas Rifan kaget. Namun, aku sempat memeluk
tubuh kekarnya. Tangannya memegang tanganku.
“Gak
apa-apa Risma. Cuma angin dan petir kok. Jangan takut.”, katanya.
Aku
tidak menjawab, tapi kuakui dalam diri ini ada perasaan lain waktu aku
memeluknya. Tubuhnya yang kekar dan wangi semerbak membuatku nyaman. Ada
perasaan hangat menyelimuti sekujur tubuhku. Kurang lebih sekitar tiga menit
aku memeluknya. Dia pun mulai melepas pelukanku dengan lembut dan perlahan.
Memegang tanganku dan kembali mengajakku duduk.
“Maafkan
Risma, mas. Yang tadi itu refleks”, kataku.
Dia
tersenyum. “Tidak apa-apa. Yang penting Risma tidak takut lagi”, katanya sambil
memegangi jari tanganku.
“Nah
gitu dong! Kalau berdagang harus berdandan. Masak berjualan dengan pakaian yang
kumal. Khan lebih cantik kalau begini”, katanya seolah ingin menggodaku.
Aku
pun tersenyum. Hatiku terasa berbunga-bunga. Ketika tangannya ingin melepas
jariku aku menahannya. Hujan turun dengan derasnya. Aku pun merapat kedekatnya.
Mas
Rifan merangkul tubuhku. Tangan kirinya memegangi jari-jemariku sementara
tangan kanannya membelai rambutku. Aku terlena. Ku dekatkan kepalaku ke dadanya
yang bidang. Dia memberanikan diri untuk mengecup dahiku. Terasa ada perasaan
hangat di dalam tubuhku. Tanpa di kuduga, dia menarik leherku dan mencium
bibirku! Mulanya aku sangat kaget, tapi entah mengapa kubiarkan dia mencium
bibirku. Sejujurnya, timbul desir-desir di dalam hatiku saat Mas Rifan mencium
bibirku. Aku pun memejamkan mata. Membuka mulutku agar lidahnya bisa masuk.
Lidah kami saling membelit dan bertukar ludah. Cukup lama juga kami berciuman.
Kira-kira dua menit kemudian, Mas Rifan menyudahi ciumannya. Dia membelai
rambutku dan mengecup keningku.
“Maaf
Risma, aku sudah keterlaluan”, katanya seperti penuh sesal. “Aku harus pergi.
Tampaknya hujannya sudah mau reda”, katanya sambil bangkit dari tempat duduk
plastik. Membentangkan koran dan tampak tergesa-gesa ingin pergi.
“Mas
Rifan ! Ini gorengannya”, kataku sambil menyerahkan bungkusan gorengan
tersebut.
Mas
Rifan tersenyum. Dia mengambil gorengannya kemudian berlari ditengah hujan yang
mulai mereda sambil membentangkan koran menutupi kepalanya. Aku masih
memandanginya sampai dia menghilang diujung jalan. Aku mulai merapikan
gerobakku untuk kembali ke pangkalan dan pulang kerumah. Hari itu, aku berhasil
mengumpulkan uang hampir dua ratus lima puluh ribu rupiah. Cukup untuk membeli
makanan untuk aku dan Dinda.
Malam
itu aku tidak bisa tidur. Aku masih terbayang perlakuan ketika Mas Rifan
mencium bibirku dimana aku begitu menikmatinya!. Ya, pikiranku tertuju kepada
Mas Rifan seorang. Akankah aku bertemu dengannya besok? Padahal belum sehari
aku berpisah dengannya, namun kerinduan ini semakin menajam.
Dua
kali sudah aku mengalami kegagalan dalam pernikahan. Membuatku memutuskan untuk
menutup pintu hatiku untuk makhluk yang bernama laki-laki. Tapi entah mengapa,
sejak kehadiran Mas Rifan hatiku makin berbunga dan mekar! Aku lebih optimis
dalam memandang kehidupan. Karenanya, Dinda cukup heran melihat aku yang lebih
ceria. Biasanya, dia selalu memandangku dalam keadaan sedih dan jarang
bergembira.
“Mamah
sepertinya senang banget. Ada apa sih Mah?”, tanyanya polos.
“Ah,
enggak. Hari ini dagangan mamah laku semuanya!”, kataku mencoba berbohong.
“Tapi
kemarin dagangan mamah banyak yang laku. Mamah gak sebahagia ini”, katanya
lagi.
Aku
memeluknya dan mengatakan kepadanya, “Sayang, kelak ketika kamu besar nanti.
Kamu pasti akan merasakan apa itu jatuh cinta”.
Dia
melepas pelukanku dan berkata, “Jadi mamah jatuh cinta? Sama siapa mah”,
tanyanya dengan penuh keheranan.
Aku
mencubit hidungnya, “Kamu mau tahu aja!”. Kami pun saling tertawa.
Pagi-pagi
sekali aku sudah bangun. Setelah mandi, aku memilih pakaian terbaiku dan
berdandan secantik-cantiknya. Banyak orang keheranan akan penampilanku, tapi
semuanya memuji kecantikanku. Aku menuju tempat penitipan gerobak dan mulai
mendorong gerobakku ke tempat biasa aku berjualan dengan wajah ceria.
Kulayani
setiap pembeli yang datang dengan wajah gembira. Aku merasa bahagia dan senang.
Namun demikian, sesekali aku selalu memandang ujung jalan. Berharap Mas Rifan
datang untuk membeli gorengan atau hanya sekedar mampir. Aku pun tak keberatan
jika seandainya Mas Rifan membawaku pergi kesuatu tempat untuk mengulangi
kembali apa yang sudah pernah dia lakukan terhadapku. Bahkan lebih jauh dari itu pun aku rela!
Sampai
sore menjelang maghrib, aku terus menatap ujung jalan. Namun ternyata Mas Rifan
tidak datang. “Mungkin dia akan datang besok”, kataku dalam hati. Hari itu
penjualan gorenganku kembali lancar. Selepas ashar tadi, gorenganku sudah
terjual habis. Kembali kututup gerobakku dan melangkahkan kaki pulang ke rumah.
Demikianlah
aku menjalani hari demi hari. Memang benar, sejak aku merubah penampilanku
daganganku menjadi laris. Perlahan tapi pasti tabunganku semakin banyak. Sebulan
kemudian, aku memutuskan untuk pindah ke sebuah kontrakan yang lebih baik. Aku
mengontrak di sebuah rumah yang cukup besar. Dari hasil penjualan gorengan, aku
bisa menyekolahkan Dinda ke TK terdekat. Semakin lama, omset gorenganku semakin
banyak. Kini aku punya tiga buah gerobak gorengan dimana kedua gerobakku yang
lain dijalankan oleh orang-orang kepercayaanku.
Tak
terasa, sudah enam bulan berlalu. Aku masih setia memandang ujung jalan tempat
aku berjualan. Berharap, Mas Rifan kembali datang menemuiku. Aku mengakui,
bahwa kini aku semakin mencintainya. Aku memiliki angan-angan dan harapan.
Harapan supaya kelak dia mau menjadi suamiku. Menyayangi aku dan Dinda sepenuh
hati. Namun entah mengapa, dia kini bak ditelan bumi. Aku masih setia
menunggunya dan tak pernah putus berharap. Tidak tahu sampai kapan, harapan
untuk bertemu dengannya masih ada dalam hatiku. Dia memang misterius,
semisterius kehadirannya dalam kehidupanku. Tapi dia berhasil menjeratku dalam
panah cintanya. Membuat seumur hidupku terperangkap dalam cinta dan rindu yang
amat sangat senantiasa membakar hatiku.
Inspired by real short-story, I read
twenty years ago
Jakarta, 20 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar