Sekelompok orang
menyerukan dimana-mana bahwa Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib
Karamallahu Wajhah (KW) telah berhukum selain yang diturunkan Allah dan
Rasul-Nya. Menurut pendapat mereka hanya hukum yang diturunkan oleh Allah dan
Rasul-Nya saja yang menjadi satu-satunya hukum yang wajib dipatuhi. Karenanya, mereka menganggap Khalifah Ali bin
Abi Thalib sudah keluar dari Islam alias Murtad. Bahkan disamakan dengan Thagut
Fir’aun. Keadaan negara yang tengah mengalami krisis politik pasca terbunuhnya
Amirul Mukminin Khalifah ‘Utsman bin Affan Dzunnurain rupanya dimanfaatkan
sekelompok orang tertentu untuk mengail di air keruh dan menjadi pemicu
lahirnya kelompok tersebut.
Kian lama pengaruh
kelompok orang ini mulai mendapatkan dukungan yang meluas. Terutama kelompok masyarakat awam kebanyakan yang memang bukan Shahabat Rasulullah SAW. Dimana tentunya pemahaman
keislaman mereka memang jauh lebih dibawah jika dibandingkan para Shahabat Rasulullah SAW. Saat
itu, jumlah kelompok Shahabat Rasulullah SAW sudah mulai sedikit, lantaran
banyak yang wafat ataupun gugur syahid di medan jihad.
Pengaruh kelompok orang yang semakin lama semakin membesar dan meluas ini mulai menimbulkan keresahan di seluruh wilayah kekhalifahan. Beberapa
Shahabat Rasulullah SAW yang masih hidup prihatin terhadap perkembangan sosial
dan politik masyarakat yang terjadi.
Salah satu Shahabat
Rasulullah SAW termuda, Abdullah bin Abbas ra. berinisiatif menemui Amirul
Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW. Maka terjadilah dialog diantara mereka
pada pertemuan tersebut.
“Wahai Amirul Mukminin
(Bapak Presiden-red), Saya menawarkan bantuan kepada anda. Apa pendapat anda
jika Saya menemui mereka dan mengajak mereka berdialog secara terbuka? Mungkin
saja, mata hati mereka akan kembali terbuka dan kembali kepada Pemerintahan
Kaum Muslimin yang sah”, demikian ujar Abdullah bin Abbas.
“Wahai Ibnu Abbas (Sapaan
Abdullah bin Abbas ra. – red). Sungguh mereka telah menggunakan kalimatul haq
namun untuk tujuan bathil. Nantinya aku pasti akan memerangi mereka.
Namun tidak ada salahnya
usulan yang engkau sampaikan. Adakanlah dialog dengan mereka. Kita lihat apakah
mereka masih mau mendukung Pemerintahan Kaum Muslimin yang sah atau tidak”,
demikian penegasan Khalifah Ali bin Abi Thalib KW.
Sebelum berangkat
berdialog, Ibnu Abbas menata rambutnya dengan rapi dan memilih pakaian
terbaiknya untuk dipakai. Beliau pun pergi ke tempat dialog dengan menggunakan
keledai terbaiknya.
Sesampainya di tempat
dialog, Ibnu Abbas menghitung jumlah peserta yang akan berdialog. Dari pihak
Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW hanya diwakili oleh dirinya,
sementara dari kelompok penentang berjumlah 12 ribu orang. Setelah mengucapkan
salam, Ibnu Abbas turun dari keledainya dan mulai mendekat dan berdiri dengan
gagah sambil mengajak mereka semua berdialog.
Salah seorang peserta
berseru kepada yang lain, “Wahai kaum. Tahukah siapa yang ada di depan kita?
Dia adalah Ibnu Abbas ! Shahabat Rasulullah SAW yang paling ahli berdebat !
Sungguh dialog ini jadi sia-sia karena Beliau pasti punya banyak seribu hujjah
(alasan-red) untuk mematahkan argumen-argumen kalian!”.
Peserta yang lain menjadi
riuh rendah. Mereka sangat paham, karena Ibnu Abbas adalah salah seorang
Shahabat Rasulullah SAW yang di doakan sendiri oleh Rasulullah SAW menjadi ahli
debat yang berkualitas. Bukankah doa seorang Rasul pasti dikabulkan oleh Allah?
Ibnu Abbas paham betul
kegelisahan mereka. Pastilah mereka tidak akan menerima alasan-alasan yang
disampaikannya meskipun alasannya masuk
akal sekalipun. Mereka pasti akan menolak pendapat seorang Shahabat Rasulullah
SAW, karena mereka hanya mempercayai apa-apa yang dituliskan Al Qur’an dan
Hadis saja.
“Baiklah”, kata Ibnu
Abbas. “Kalau begitu, silahkan ajukan pertanyaan-pertanyaan kalian. Aku hanya
akan menjawab dengan menggunakan Al Qur’an dan Hadis saja. Jika aku berhasil
menjawab semua pertanyaan kalian dengan hanya menggunakan Al Qur’an dan Hadis
saja, apakah kalian mau kembali
mendukung Pemerintahan Kaum Muslimin yang sah, dibawah kepemimpinan Amirul
Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib?”, tanya Ibnu Abbas.
“Ya ! Kami akan kembali
mendukung pemerintahan Ali bin Abi Thalib”, jawab mereka serempak.
Maka satu per satu dari
mereka menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada Ibnu Abbas. Terkadang mereka
memberikan pertanyaan yang sangat menyulitkan. Namun Ibnu Abbas berhasil menjawab
semua pertanyaan mereka dengan logis, sistematis dan mudah dipahami. Sesuai
dengan janjinya, Ibnu Abbas hanya menggunakan Al Qur’an dan Hadis saja untuk menjawab
pertanyaan dan mematahkan argumentasi mereka.
Akhirnya, para peserta
pun satu per satu kehabisan kata-kata dan terlihat letih, lesu, lemah dan tak
bertenaga. Semua pertanyaan, bantahan, argumentasi dan keraguan mereka telah
berhasil dipatahkan oleh Ibnu Abbas dengan hanya menggunakan Al Qur’an dan
Hadis saja dalam menghadapi mereka. Namun keadaan berbeda justru terlihat di
diri Ibnu Abbas. Beliau masih nampak segar, bertenaga dan terlihat masih sanggup
untuk berdebat lebih lama.
Mereka pun tidak sanggup
berdebat lagi. Secara serempak mereka pun mengaku kalah. Sesuai janji yang
diucapkan pada awal dialog, satu per satu mereka menyatakan kembali mendukung
pemerintahan Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW. Dari 12 ribu
orang, tercatat 8 ribu orang yang menyatakan kembali mendukung pemerintah.
Sisanya, sebanyak 4 orang menyatakan tetap menolak.
Ibnu Abbas kembali dan
melaporkan hasil dialognya kepada Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib
KW. Lalu, Amirul Mukminin Khalifah Ali
bin Abi Thalib KW berkata:
“Sampaikan kepada 4 ribu
orang yang masih bertahan tersebut. Aku tidak akan menahan atau memerangi
mereka. Kecuali apabila mereka menyabotase jalan, merusak infrastruktur, dan
atau merampas harta dan nyawa para ahlu
dzimmah (Non Muslim yang hidup damai dengan Kaum Muslimin-red), maka aku
pasti akan menghadapi mereka dengan senjata !”, demikian penegasan Amirul
Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW.
Keempat ribu orang tadi
pergi dari Madinah dan menuju Irak. Akhirnya mereka menetap di Nahrawan (12 km
dari Baghdad, Irak –red). Apa yang terjadi kemudian? Mereka mulai menyabotase
jembatan yang biasa dilalui khafilah dagang. Merusak tempat-tempat umum.
Membakar gereja, sinagog, kuil dan membunuh para ahlu dzimmah. Bahkan tak tanggung-tanggung, beberapa kaum muslimin
juga ikut menjadi korban keganasan mereka.
Mendengar laporan dari
Gubernur Irak, maka Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirimkan
pasukan ke Nahrawan untuk menumpas mereka. Terjadilah pertempuran dahsyat dan
dimenangkan oleh Pasukan Pemerintah. Dalam pertempuran itu, sebanyak 70 orang
pimpinan pihak teroris terbunuh dan jenazah mereka dibawa dan diletakkan di
halaman Masjid Agung Baghdad.
Salah seorang Shahabat
Rasulullah SAW yang ahli ibadah dan bermukim di Baghdad, yakni Abu Ayub
Al-Anshari ra. berkunjung ke halaman Masjid Agung. Setelah melihat
jenazah-jenazah para teroris ini, air mata beliau tertumpah dan mulai menangis.
Gubernur Irak yang
melihat Abu Ayub Al-Anshari ra. menangis,
mendekati dan hendak bertanya kepada beliau.
Namun Abu Ayub Al-Anshari
ra. yang malah berkata kepada Sang Gubernur.
“Subhanallah. Lihatlah
Pak Gubernur. Lihatlah bagaimana perbuatan setan kepada anak cucu Adam ini”,
kata Abu Ayub Al-Anshari ra. kepada Gubernur Irak sambil menunjuk ke arah
jenazah-jenazah para teroris.
“Lalu mengapa Engkau
menangis, Wahai Shahabat Rasulullah SAW yang mulia? Apa yang menyebabkan Engkau
bersedih?”, tanya Sang Gubernur kepada Shahabat Rasulullah SAW yang terkenal
ahli ibadah ini.
“Aku menangis, karena
dahulunya mereka bagian dari Kaum Muslimin. Karena godaan dan fitnah setanlah,
yang menjadikan mereka keluar dari barisan Kaum Muslimin”, pungkas Abu Ayub
Al-Anshari ra.
Referensi:
Kitab Bidayah wan Nihayah, karya Imam Ibnu
Hajar Al-Atsqolani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar