“Aku
ingin putus denganmu”, katanya sambil melebarkan sepasang matanya yang bulat
dan indah.
“Aku
tak bisa menunggu lebih lama. Dalam hitungan hari aku akan diwisuda. Sedangkan
kau? Hanya Tuhan saja yang tahu kapan kau akan lulus!”, katanya dengan nada meninggi
dan ketus.
“Berikan
aku waktu!”, sergahku kemudian. “Aku akan memperbaiki semuanya. Skripsi akan
kuselesaikan dalam waktu dekat”, kataku sambil mencoba meyakinkannya.
“Dalam
waktu dekat?”, katanya sambil nyinyir. “Kau sudah ucapkan itu setahun yang
lalu! Bahkan berkali-kali”, sambungnya lagi. “Sudah bosan telinga ini
mendengarnya!”.
“Dengarkan
aku!”, kataku juga dengan nada tinggi. “Aku sedang berusaha menyusun skripsiku.
Pagi ini aku sudah bertemu dengan Dosen Pembimbingku. Beliau sudah setuju dengan
Tema yang kuajukan. Dalam hitungan semester aku pasti bisa lulus”, kataku
sambil menjelaskan.
“Apa
yang membuatmu yakin akan hal itu? Sudah lebih dari tiga kali kau menyampaikan
hal yang sama. Skripsi pasti selesai. Buatku kau sudah tidak ada harapan
lagi!”, katanya sambil berdiri lalu pergi meninggalkan aku.
“Aline
tunggu !”, kataku sambil berdiri dan berusaha mengejar. Namun sayang langkahku
terhenti oleh pelayan kafe yang meminta supaya bon minumanku dan Aline supaya
dibayar. Dasar sial! Rupanya dompetku tertinggal di meja. Segera saja aku
mengambil dompet diatas meja, mengeluarkan uang dari dompet untuk membayar dan
segera pergi dari kafe tersebut. Tapi sayang, Aline sudah keburu menghilang.
Aku pun
berjalan pelan meninggalkan Kafe tersebut. Sambil melangkah aku memutar kembali
memori kehidupanku.
Sejujurnya,
pada awalnya kuliahku memang dibiayai oleh Ibu yang juga membiayai pendidikanku
dari TK hingga perguruan tinggi. Sejak usiaku masih 3 tahun aku sudah ditinggal
ayah. Ibu membesarkan aku dan adik perempuanku Ratri hingga besar. Namun segalanya
berubah ketika aku menginjak Semester 4 kuliahku. Ibu terserang stroke sehingga
terpaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai Buruh Cuci di beberapa rumah di
sebuah Perumahan Elit di pinggiran Ibu Kota ini.
Aku
akhirnya mengambilalih sebagai pencari nafkah dikeluarga. Karena ketiadaan
biaya aku terpaksa merawat Ibu dirumah sambil diterapi di klinik pijat yang
tidak jauh dari rumah. Aku pun berusaha bekerja keras sambil tetap kuliah.
Beragam profesi sudah kujalani. Mulai dari penjual koran, ngamen di Terminal
Bus, sampai menjadi Sales Asuransi.
Inilah
awal mengapa kuliahku tersendat. Di semester kedua aku menjalin hubungan asmara
dengan Aline. Mahasiswi cantik bintang Kampus putri seorang pejabat di instansi
pemerintah ternama. Aku tidak tahu mengapa dia tertarik padaku. Mungkin karena
aku pandai memainkan alat musik sambil bernyanyi dengan merdu, dia tertarik
padaku. Di sela-sela kuliah aku juga senantiasa berlatih musik sendiri karena
sebagai pengamen aku ingin mendapatkan uang lebih dari penumpang. Dari
pengalamanku, rata-rata penumpang bus di terminal amat senang apabila aku bisa
membawakan lagu dengan teknik suara yang baik dan merdu.
Kejadian
tadi rupanya menyadarkan Aline bahwa aku memanglah lelaki yang tidak bisa
diharapkan. Akibat keasyikan bekerja untuk menghidupi Ibu dan adikku, kuliahku
jadi tersendat. Aku tidak berani mengambil banyak mata kuliah lantaran takut
menyita waktu bekerjaku. Akibatnya kuliahku menjadi lama. Sementara Aline mampu
menamatkan tiap semester dengan lancar. Lagi pula aku juga bukanlah orang
jenius di perkuliahan. Indeks Prestasiku tidak begitu spektakuler meskipun
masih diseputar tiga koma. Berbeda dengan Aline yang selalu mendapatkan nilai
yang hampir sempurna di tiap-tiap semesternya.
Aku pun
sampai di Halte Busway dan kemudian menunggu bus untuk bisa pulang ke rumah.
Disaat sedang menunggu bus, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Ternyata
Ratri menelepon.
“Dimana
Kak?”, katanya sambil menangis.
“Ada
apa Ratri? Kakak masih di halte bus. Sebentar lagi pulang”, kataku
“Ibu
Kak... Ibu...., jatuh sakit. Sekarang di rumah sakit”, katanya
Aku pun
mempercepat langkahku segera menuju ke Rumah Sakit.
Akhirnya
Ibu pun di rawat di kelas tiga sesuai dengan Kartu Indonesia Sehat yang
dimiliki beliau. Setelah menjalani perawatan selama 2 bulan beliau pun
diperbolehkan pulang. Namun dokter menyarankan agar beliau berhenti bekerja sama
sekali dari pekerjaan yang sama sekali menguras aktivitas fisik. Praktis, kini
semua beban utama untuk mencari nafkah terletak di pundakku. Menyebabkan aku
semakin lama semakin tenggelam dalam pekerjaan sehari-hari. Meskipun demikian
aku tetap menekuni kuliahku karena Ibu ingin melihat aku diwisuda sebagai
Sarjana. Karenanya aku bisa melupakan Aline dan kemauannya untuk putus.
Tiga
Tahun Enam Bulan kemudian.....
“Aha!,
Ini yang Saya tunggu-tunggu. Ayo masuk mas!”, kata Pak Yanto sambil
memperlihatkan muka yang berseri-seri.
Sore
itu, aku pun melangkah ke dalam ruangan di Lantai 11 di sebuah Gedung Kantor
ternama di Jakarta. Dimana banyak orang berpenampilan rapi dengan jas dan dasi
mereka yang duduk dan menatapku. Pak Yanto, pemilik perusahaan itu,
memperkenalkan diriku kepada semua yang hadir. Yang ternyata adalah Jajaran
Direksi dan Komisaris perusahaan miliknya.
Aku pun
mempresentasikan skema pembiayaan yang cocok dengan bisnis perusahaan Pak
Yanto. Aku pun menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan menyebutkan
banyak referensi bisnis. Semua yang hadir tampaknya puas dengan presentasiku.
“Jadi bagaimana?”, tanya Pak Yanto. “Apakah
kita sepakat dengan skema Project
Financing yang ditawarkan Mas Bram ini Bapak-bapak sekalian?”, tanya
beliau.
“Kami
putuskan bahwa PT Angkasa Energindo akan menggunakan skema Project Financing yang ditawarkan oleh Mas Bram selaku wakil dari
PT Investment Indonesia !”, kata Pak Bambang selaku Direktur Utama perusahaan
PT Angkasa Energindo milik Pak Yanto.
“Baiklah
kalau begitu. Mari sekarang kita langsung tanda tangan MoU saja. Supaya Project Financing ini bisa secepatnya
direalisasikan!”, kata Pak Yanto. “Tolong Dyah, Evy dan Nila siapkan draftnya
segera!”, perintah Pak Yanto kepada tiga
wanita yang berdiri di pojok ruangan.
Setelah
tanda tangan MoU semua yang hadir bertepuk tangan. Kesepakatan bernilai Rp 5
Trilyun itu sudah selesai ditandatangani.
Acara
pun dilanjutkan dengan ramah tamah. Semua Direksi dan Komisaris ikut
menyalamiku. Termasuk Pak Syamsir, Direktur Keuangan.
“Maaf
Mas Bram, saya lupa memperkenalkan pada Mas Bram. Ini Sekretaris Saya yang
baru. Baru bergabung 3 bulan yang lalu”, kata Pak Syamsir sambil menunjuk ke
seorang wanita berkulit putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping. Mengenakan
stelan blazer dan celana panjang warna biru tosca dengan rambut panjang yang
dibiarkan tergerai.
Aku
melihat kearahnya. Wajahnya tidak lagi asing buatku. Ya, dialah Aline. Gadis
yang pernah menjadi bagian dari kisah cintaku ketika kuliah dulu.
“Kenalkan,
Dyah”, katanya sambil mengulurkan tangannya yang halus. Aku pun mengulurkan
tanganku untuk menyalaminya, “Bram”, jawabku singkat.
“Oh ya,
Dyah. Pak Bram ini adalah investor
strategic kita untuk Proyek Power
Plant kita di Kalimantan Selatan. Perusahaannya sudah sepakat menanamkan
dana Rp 5 Trilyun untuk proyek ini. Tolong ajak beliau meninjau ruangan
perusahaan kita. Terutama informasi terkait dengan proyek yang akan kita bangun
dan aspek keuangannya”, demikian perintah Pak Syamsir.
“Baik
Pak Bram. Silahkan ikuti saya”, kata Aline sambil mempersilahkan aku untuk
mengikutinya.
Aku pun
mengikuti langkah Aline menuju ke ruangan sebelah. Di ruangan itu terdapat
maket Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang sangat besar dan lengkap dengan
foto-foto pembangunan yang tergantung di dindingnya. Aline pun memberikan
penjelasan secara lengkap tentang proyek tersebut. Namun aku, entah mengapa,
tidak begitu tertarik untuk mendengarkannya.
“Boleh
aku bertanya?”, kataku menyela pembicaraan. “Mengapa kamu memperkenalkan dirimu
dengan nama Dyah?”, tanyaku.
“Itu masih
namaku Bram. Aline Dyahmawati”, katanya namun kali ini dia langsung tertunduk.
“Selamat
atas kelulusanmu tiga setengah tahun yang lalu. Seharusnya, aku mengucapkan
selamat. Tapi Ibuku waktu itu sakit keras dan dirawat dirumah sakit. Jadi aku
belum sempat ke acara wisudamu”, kataku lagi.
“Juga sekali
lagi aku ucapkan selamat. Dari yang kudengar, kamu mendapatkan Cum Laude dan
diumumkan dalam acara wisuda tersebut mendapatkan Gelar Wisudawan terbaik di
kampus kita. Aku ikut bangga padamu”, kataku lagi.
“Terima
kasih Bram. Sudah tiga setengah tahun, kamu tetap tidak berubah”, katanya kali
ini dengan nada yang merendah.
“Bram”,
katanya lagi, “Aku minta maaf”, katanya dengan nada yang sedikit lirih.
“Maaf
untuk apa?”, tanyaku sambil berpura-pura keheranan.
“Aku
minta maaf, karena waktu itu aku terlalu cepat memutuskan hubungan cinta kita”,
katanya. “Seharusnya, aku bersabar karena kamu menunda kuliah bukan karena
malas atau bodoh. Tapi lebih kepada keadaan keluarga”, katanya dengan setengah
terbata.
“Ah
sudah lah”, jawabku. “Itu sudah menjadi masa lalu yang sudah kutinggalkan.
Ketika kau melangkah keluar dari Kafe itu, aku sudah menerima keadaan dan
memaafkanmu. Meskipun butuh berhari-hari untuk menghilangkan rasa sakitnya”,
jelasku. Kemudian, kami pun saling terdiam.
Di saat
kami sedang terdiam, tiba-tiba muncul Pak Yanto. Dia memintaku untuk foto
bersama dengan seluruh Jajaran Direksi, Komisaris dan juga dirinya sebagai
pemilik perusahaan. Tak lupa, dia pun memerintahkan Aline alias Dyah untuk
mengurus segala keperluan untuk foto bersama. Selesai acara foto bersama aku
pun pamit ke Pak Yanto dan seluruh jajaran Direksi dan Komisaris mengingat hari
sudah menjelang malam.
Aku melangkah ke arah parkiran dimana sebuah sedan
buatan pabrikan terkenal asal Jepang keluaran tahun terbaru sudah menunggu lama
disana. Segera aku masuk ke dalamnya, memutar kunci dan mengendarainya secara
perlahan.
Ketika
keluar gedung parkir hujan turun dengan deras. Aku pun mengarahkan kendaraan ku
keluar melalui lobi untuk kemudian ke gerbang keluar. Ketika akan melintas lobi
kulihat Aline sedang berdiri menunggu disana. Aku pun menghentikan kendaraanku tepat
di depannya dan membuka kaca jendela.
“Mau
ikut denganku atau ada yang akan menjemput?”, tanyaku dengan suara agak keras.
Aline
tidak menjawab dia pun menuju pintu mobilku. Aku membuka kunci otomatis
sehingga memudahkan dia masuk ke mobilku.
“Aku
antar kamu pulang. Rumahmu masih disana kan?”, tanyaku. Dia pun mengangguk
pelan.
Aku pun
melajukan mobilku keluar dari gedung kantor tersebut. Sebentar saja aku sudah
masuk ke Jalan yang ramai oleh kendaraan.
“Tidak
seperti biasanya. Kau banyak terdiam kali ini,” kataku mencoba membuka
pembicaraan.
“Bagaimana
kabarnya Adam Harsono?”, tanyaku sambil memindahkan tuas gigi transmisi
kendaraanku.
“Kamu
tahu dari mana, Bram?”, tanyanya kali ini dengan menengokkan kepalanya mengarah
kepadaku.
“Jaman
sekarang aku bisa melihat profile Facebook-mu. Tertulis kamu sedang menjalin
hubungan dengannya”, kataku dengan nada meyakinkan.
“Sudah
putus”, jawabnya lagi.
“Wah
berarti, kamu harus cepat-cepat up date
status tuh!”, kataku sambil tertawa. Tapi dia malah terdiam. Kulajukan
kendaraanku agak lebih cepat dari biasanya.
Kemudian,
tak lama kemudian mobilku pun berhenti di lampu merah dekat persimpangan menuju
rumahnya. Aku pun mulai menyetel radio untuk membuat suasana meriah karena
setelah pertanyaan tadi Aline lebih banyak terdiam.
Setelah
lampu berubah menjadi hijau aku pun membelokan mobil ke arah rumahnya. Aku
mengendarai mobil sambil bersenandung mengikuti irama lagunya Celine Dion yang
diperdengarkan oleh radio mobilku. Aline masih terdiam.
“Bram”,
katanya secara tiba-tiba. “Apakah kamu sekarang sudah bersama orang lain?”,
katanya lagi.
“Ah,
bercanda kamu. Mana ada gadis yang mau dengan cowok urakan dan begajulan sepertiku?
Jelaslah aku masih sendiri. Tapi itu sekarang bukan persoalan berarti buatku”,
kataku dengan nada yang tegas. “Ternyata enak juga menjomblo tapi banyak uang seperti
ini”, jelasku kepadanya namun dengan nada seperti mengejek.
“Maukah
kamu menerima aku lagi Bram?”, katanya dengan suara perlahan.
Seketika
kuinjak rem. Menyebabkan kendaraan berhenti mendadak. Untungnya jalanan dalam
keadaan sepi sehingga tidak ada kendaraan yang menabrakku dari belakang.
Aku
menepikan kendaraanku dan memberhentikannya.
“Aline
tolong dengarkan aku”, kataku. “Semenjak kau pergi dariku waktu itu, bagiku
cerita indah soal cinta kita sudah selesai. Pada saat itu secara bersamaan
Ibuku masuk Rumah Sakit. Namun setelah kupikir-pikir itulah hikmahnya. Supaya aku
dapat cepat melupakanmu dengan mudah.”
“Bagiku
engkau adalah masa lalu yang selalu kujadikan pelajaran berharga dalam hidupku.
Namun demikian aku sangat berterima kasih kepadamu karena pernah menjadi bagian
penting yang mengisi cerita kehidupanku”.
“Maafkan
aku Aline. Aku sudah berubah. Aku sudah move
on. Tolong kamu hargai keputusanku”, kataku.
Aline
terdiam. Kembali kujalankan mobilku menuju rumahnya.
Aku pun
berhenti tepat didepan rumahnya. Saat itu hujan sudah reda. Aline pun turun
dari kendaraanku dan mengucapkan terima kasih atas kesediaanku mengantarnya.
“Maaf
aku gak bisa mampir. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan”, kataku.
Sesaat kemudian aku pun melajukan mobilku dan meninggalkannya.
Menjelang
tengah malam kuputuskan untuk mampir disebuah restoran 24 jam tempat aku biasa
makan. Setelah memesan makanan aku pun duduk tidak jauh dari jendela yang dekat
dengan mobilku.
Sesaat
kemudian Telepon Genggamku berbunyi. Rupanya ada SMS masuk. Setelah kubuka
ternyata dari Aline.
Bram, aku tahu aku telah berbuat salah
kepadamu. Tapi apakah kamu harus berbuat sekejam ini kepadaku? Apakah kita
tidak bisa bersatu bagai dulu lagi ?
Aku
tidak menghiraukan isi SMS tersebut. Setelah pesananku datang aku pun
menyantapnya. Setelah selesai dan membayar, aku pun kembali ke rumah.
Sepanjang
perjalanan pulang ingatanku kembali kepada masa-masa dimana aku baru saja putus
dari Aline. Aku memang mengejar ketinggalan kuliahku sambil mencoba fokus
bekerja sebagai Sales Asuransi. Meskipun agak tersendat namun aku berhasil menamatkan skripsiku setelah 2 semester. Aku
berterimakasih kepada Ratri, adikku, yang dengan sabar menghibur hatiku agar
aku mencurahkan perhatianku ke kuliah dan pekerjaan serta melupakan kisah
cintaku dengan Aline. Tak lupa sering mengingatkanku kalau aku akan mendapatkan
Gadis yang lebih baik dari Aline. Di saat yang bersamaan saat itu perusahaan
asuransi tempatku bekerja membuka lowongan sebagai Agen Penjual Reksa Dana. Aku
pun melamar dan berhasil lulus ujian sertifikasi sebagai Agen Penjual Reksa
Dana. Dari situ aku berpindah profesi dari Sales Asuransi menjadi Agen Penjual
Reksa Dana.
Dari
situlah karirku menanjak dengan cepat. Seiring makin banyaknya reksa dana yang
berhasil kujual maka aku pun menjadi incaran perusahaan-perusahaan investasi
untuk bisa bekerja pada mereka. Aku pun tidak berpuas diri. Seluruh sertifikasi
di bidang Pasar Modal aku raih dalam waktu kurang dari setahun. Mulai dari
Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Penjamin Emisi, dan Wakil Manajer
Investasi. Juga tidak ketinggalan Sertifikasi Internasional di bidang Analis Keuangan berhasil aku raih.
Tak heran akhirnya aku berhasil di rekrut oleh PT Investment Indonesia sebagai
Direktur di sana kurang lebih setahun yang lalu. Aku berhasil membawa banyak
perusahaan untuk Go-Public. Juga
banyak perusahaan yang berhasil merestrukturisasi hutang dan bisnisnya melalui
tangan dinginku. Sehingga tak heran jika pengusaha sekelas Pak Yanto tertarik
untuk berbisnis dengan perusahaanku.
Hari-hari
berikutnya, aku lebih memilih sibuk meeting
dengan Pak Yanto dan Jajaran Komisaris serta Direksi perusahaannya. Terkadang
Aline alias Dyah juga hadir namun hanya membantu mengurus dokumen-dokumen yang
menjadi tanggung jawab Pak Syamsir. Aku pun tetap bersikap acuh tak acuh
kepadanya dan tidak memberikan kesempatan buatnya untuk mendekat kepadaku.
Aku
bersyukur proyek kerjasama investasi ini berjalan dengan mulus. Ternyata Pak
Yanto mendorong perusahaan lain di grupnya untuk bekerjasama dengan perusahaanku.
Semakin lama bisnis Pak Yanto dan grup perusahaannya semakin berkembang.
Membuat rekening bankku makin lama makin bertambah gemuk. Akhirnya aku bisa
membawa Ibuku, Ratri dan suaminya keliling Eropa, Asia, Australia, Amerika
bahkan Afrika. Tidak lupa kami pun menunaikan Ibadah Haji sekeluarga sebagai
bentuk rasa syukur. Seluruh keluargaku menjadikan aku sebagai kebanggaan
mereka.
Delapan
bulan kemudian .......
Aku
menyalaminya. Aline tampak sangat cantik dengan Gaun Pengantin Adat Minang yang
dikenakannya. “Selamat”, kataku. “Jadilah istri yang baik buat suamimu”, kataku
lagi.
Aline
tersenyum getir. Tampak jelas raut penyesalan dari wajahnya. Namun aku sudah
bertekad menjadikannya bagian dari masa laluku. Aku pun menghilang dari
hadapannya untuk kemudian menuju ke Gedung Parkir.
Kuhidupkan
kendaraanku dan ku pacu menuju jalanan ibu kota yang masih sedikit lengang.
Sambil mendengarkan Michael-Learns-To-Rock yang mengalun dengan indah ku pacu
kendaraanku sambil sesekali menatap langit. Kurasakan Langit Jakarta begitu
cerah dan indah! Secerah hatiku yang sedang asyik bersenandung.
Inspired by Short-Story, “Mantan” by
Alan Budiman
Jakarta,
30 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar