“Hey, hentikan!”,
teriakku sambil mendekat ke kumpulan remaja tanggung yang sedang mengacak-acak
dagangan kue seorang gadis cilik yang sedang menangis.
Langsung kumuntahkan
semua pukulan dan tendangan wushu ku kearah mereka. Mereka pun lari tunggang-langgang karena
terkena pukulan dan tendanganku yang sangat telak menghajar muka, dada dan
perut mereka.
“Kamu tidak apa-apa
dik?”, tanyaku ke gadis cilik berkulit putih tersebut.
“Gak apa-apa bang. Tapi
kue Ningsih habis semua. Hari ini Ningsih belum dapat uang”, katanya sambil
menangis.
“Mereka memalak Ningsih
bang. Ningsih sudah bilang gak punya uang. Mereka tetap maksa. Jadi begini
bang”, katanya sambil sesegukan.
Aku pun merasa iba.
Kemudian memeluk tubuhnya.
“Sudah, kamu jangan
nangis ya. Abang antar kamu pulang ke rumah. Oh ya lebih baik kamu ambil uang
ini,” kataku sambil melepaskan pelukanku dan menyerahkan lima lembar uang lima
puluh ribuan.
“Banyak benar bang. Nanti
Ningsih ditanya-tanya sama nenek gimana?”, katanya polos.
“Bilang saja dagangan
kamu laku keras. Ada yang beli kue dengan harga mahal tanpa menawar”, kataku
meyakinkannya.
“Ayo Abang antar kamu
pulang”, kataku sambil menggandeng tangannya. Dia pun menuruti langkahku.
“Rumah Ningsih jauh Bang.
Abang gak apa-apa mengantar Ningsih”, katanya dengan nada sedih.
“Gak apa-apa. Sekalian
Abang silaturrahmi ke Nenek Ningsih”, kataku lagi.
Kami pun berjalan
menyusuri gang dan jalanan kecil di pinggiran Ibu Kota ini.
Sambil berjalan aku coba
bertanya tentang dirinya. Ternyata Ningsih baru berusia 8 tahun dan sudah yatim
piatu. Ayahnya meninggal waktu dia berumur dua tahun karena kecelakaan kerja.
Ibunya menyusul ayahnya dua tahun kemudian karena kecelakaan lalu lintas. Kini,
Ningsih diasuh oleh Sang Nenek, yang merupakan Ibu dari Ibunya yang juga sudah
menjanda selama hampir 15 tahun.
Setelah berjalan kaki
selama hampir 1 jam, aku pun tiba di rumah sangat sederhana namun ternyata
sangat bersih dan rapih.
Setelah mengucapkan salam
aku pun ditemui oleh seorang nenek yang baik. Dia pun mempersilahkan aku masuk.
“Silahkan Bang. Abang
duduk di dalam. Nenek mau buatkan minum”, katanya sambil berjalan ke dalam
rumah.
“Gak usah repot-repot
Nek”, kataku. “Saya gak akan lama kok”.
Tetap saja si Nenek masuk
ke dalam rumah dan kemudian kembali keluar dengan membawa segelas teh hangat
buatku. Dia pun meletakan gelas tersebut diatas meja dan mempersilahkan aku
untuk minum.
“Nek boleh saya
bertanya?”, kataku. “Apakah Ningsih masih sekolah?”, tanyaku.
“Alhamdulillah masih bang.
Kami mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga Ningsih bisa sekolah di pagi
hari. Sedangkan siangnya dia berjualan kue membantu nenek”, kata sang nenek.
“Tapi nenek kok heran ya.
Biasanya dia baru kembali berjualan pada sore. Ini masih siang sudah pulang. Uangnya
pun banyak dan dagangannya habis?”, kata si Nenek bertanya-tanya. “Lalu
hubungan Ningsih dengan Abang apa yaa?”, tanyanya lagi.
Aku pun tersenyum dan
mencoba menimpali ucapannya.
“Saya kebetulan sedang
butuh kue banyak nek, buat merayakan ulang tahun teman. Kebetulan Ningsih lewat
dan kuenya masih banyak. Jadi saya borong semuanya. Kebetulan juga saya sedang
banyak uang. Jadi saya bayar dengan harga mahal”, kataku mencoba berbohong.
“Tapi kan harga kuenya
tidak sebesar itu bang. Paling banter gak sampai lima puluh ribu. Sementara
Abang ngasih dua ratus lima puluh ribu. Apa gak kemahalan?”, tanya si Nenek.
“Gak kok nek. Saya
ikhlas. Itung-itung bantu nenek juga”, kataku sambil tersenyum.
Ningsih keluar dari kamar
dan sudah berganti pakaian. Dia pun mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku pun
memberikan nomor HP kepadanya kalau-kalau dia membutuhkan bantuan.
Sebelum pamit aku berkata
kepada Ningsih.
“Ningsih, nanti kalau mau
jualan tolong telepon Abang ya. Nanti Ningsih abang jemput. Ada tempat yang
bagus buat Ningsih berjualan kue”, kataku kepadanya. Ningsih pun mengangguk
pelan. Beberapa saat kemudian, aku berpamitan kepada si Nenek dan pergi keluar
dari rumah itu.
Keesokan siangnya,
Ningsih menelepon ke HPku dan bilang dia mau ikut berjualan dengan ku.
Kebetulan juga aku baru saja selesai kuliah. Langsung ku pacu sepeda motor
bekasku menuju rumahnya.
Aku pun membawa Ningsih
ke tempat aku biasa melatih para muridku untuk belajar Wushu. Kemarin, sepulang
dari rumahnya aku menemui pengelola tempat latihan supaya bisa memberikan
tempat buat Ningsih berjualan kue disana. Si pengelola pun setuju.
Ningsih pun kemudian
menjual kue dagangannya di tempat latihan Wushu. Selesai latihan para muridku
ramai-ramai membeli dagangan Ningsih. Dari percapakan mereka, ternyata mereka
sangat menyukai kue dagangan Ningsih karena enak. Dalam hitungan satu jam,
dagangannya pun ludes. Ningsih tersenyum karena mendapat banyak uang pada hari
itu.
“Terima kasih ya bang.
Abang udah membantu Ningsih”, katanya sambil tersenyum.
“Nah, kalau gitu tiap
hari Ningsih berdagang disini saja ya! Insya Allah, gak ada yang ganggu Ningsih
lagi. Setuju?”, sambil mengulurkan telapak tanganku.
Ningsih pun tertawa dan
menepuk telapak tanganku. Aku pun mengantarnya pulang.
Begitulah setiap harinya
Ningsih berjualan di tempat latihan Wushu. Tenyata murid-muridku sangat
menyukai kue dagangan Ningsih karena enak. Aku pun turut berbahagia karena
tampaknya Ningsih sangat senang berjualan di tempat latihanku.
Tanpa sepengetahuanku
Ningsih sering mempromosikan tempat latihan Wushuku kepada semua orang. Tak
heran kalau muridku makin lama makin bertambah banyak. Aku pun berterima kasih
kepadanya dan sering memberikan uang lebih selain dari hasil dagangannya.
Ningsih pun benar-benar berterimakasih karena sejak berdagang di tempat
latihanku kini dia dan neneknya dapat menabung dengan lancar.
Sepuluh Tahun kemudian
.......
“Selamat Mas Pramudya,
atas suksesnya bisnis Gymnasium dan Latihan Bela Diri ini”, kata Pak Sumarno,
sang manajer Bank, sambil menyalamiku.
“Iya pak. Alhamdulillah,
berkat persetujuan kredit yang Bapak berikan saya bisa mengganti peralatan yang
lebih baru. Insya Allah, bulan depan saya akan buka cabang di tempat lain Pak”,
kataku meyakinkan.
Aku pun teringat
masa-masa ketika aku lulus kuliah. Aku memfokuskan diri untuk mengembangkan
bisnis latihan wushuku. Aku pun pindah ke tempat yang lebih baik untuk
menampung muridku yang semakin lama semakin banyak. Di tempat yang baru aku
mencoba melebarkan bisnis ke bidang yang lain yakni bisnis fitnes dan body building. Karenanya, aku pun
membuat paket jualan lengkap yakni body
building dilengkapi dengan pelajaran bela diri Wushu. Tak heran sejak paket
jualanku diluncurkan, banyak orang yang mendaftar untuk menjadi muridku.
Karena semakin berkembang
maka aku memutuskan untuk membeli tempat tersebut dan mulai merenovasi secara
besar-besaran. Sejak di renovasi dan diperluas, bisnisku pun semakin
berkembang. Ada tawaran dari mantan muridku yang juga sudah menjadi instruktur wushu
untuk membuka cabang di daerah tempat tinggalnya. Karenanya aku mengajukan kredit ke Bank tempat Pak
Sumarno bekerja untuk membeli tempat yang akan aku jadikan Cabang bisnisku.
Seiring dengan majunya
bisnisku, aku pun meminta Ningsih untuk mengelola kantin yang ada di tempat
bisnisku. Ningsih pun menyanggupi dengan syarat dilakukan sepulang sekolah.
Karenanya setiap pulang sekolah Ningsih pun mengelola Kantin di Gymnasium dan
setiap sore aku mengantarnya pulang. Hubunganku dengan Ningsih sudah seperti
kakak-beradik. Neneknya pun senang kepadaku karena telah menjaga Ningsih
sebagaimana seorang Kakak kepada Adiknya.
Ningsih memutuskan untuk
menunda kuliah karena sedang mengurusi sang nenek yang sudah sakit-sakitan. Aku
pun menghormati keputusannya dan juga memberinya kelonggaran waktu. Artinya dia
boleh kapan saja datang untuk mengelola kantinku.
Malam itu aku membesuk
Sang Nenek di rumah sakit. Nenek pun senang melihat aku datang. Aku pun mencium
tangannya dan menanyakan kabarnya. Nenek pun menjawab kalau dia baik-baik saja.
“Bang Pramudya, nenek mau
berpesan kepada Abang”, katanya. “Ningsih, boleh keluar sebentar? Nenek cuma
mau bicara berdua dengan Bang Pramudya”, katanya kepada Ningsih. Kemudian,
gadis berjilbab putih itu pun keluar dari ruangan.
“Silahkan nek”, kataku.
“Abang, umur nenek sudah
gak akan lama. Nenek berterimakasih sama Abang karena telah membantu ekonomi
kami”, katanya sambil memegang tanganku.
“Abang telah menjadi
Kakak yang baik buat Ningsih. Nenek yakin, ditangan Abang, Ningsih akan semakin
baik dan terjaga”, katanya.
“Tapi bagaimana pun,
Abang dengan Ningsih bukanlah sekandung. Bukan muhrim. Nenek cuma ingin dan
berharap kalau Abanglah yang menjadi suami Ningsih”, katanya.
“Berjanjilah Bang kepada
Nenek. Kalau Abang kelak yang menjadi suami Ningsih”, katanya sambil berurai
air mata.
“Insya Allah nek.”,
kataku kemudian.
Tiba-tiba nafas nenek
menjadi sesak. Segera aku memanggil suster untuk segera diberikan pertolongan.
Suster pun memanggil dokter karena keadaan semakin parah. Ningsih pun masuk dan
langsung menangis melihat keadaan nenek yang semakin parah. Dokter
memerintahkan suster untuk dibawa ke ruang ICU. Segera saja nenek dibawa ke ICU
dan kami pun diperintahkan untuk menunggu diluar. Aku mencoba menenangkan
Ningsih yang masih terus menangis.
Untung tak dapat ditolak
malang tak dapat diraih, Dokter pun keluar dari ruangan ICU dan memberitahu
kami kabar duka. Maka meledaklah tangis Ningsih setelah mendengar kabar duka
tersebut.
Setelah pemakaman nenek,
aku memberikan kelonggaran waktu buat Ningsih untuk tidak datang ke kantin
untuk sekedar menenangkan diri. Ningsih menolak lantaran dia ingin terus
bekerja. Aku pun tidak menolak permintaannya. Ningsih pun bekerja seperti
biasa.
Hingga beberapa minggu
kemudian, Ningsih memintaku untuk memperbaiki langit-langit kamar rumahnya yang
sudah lapuk dan jebol. Aku pun pergi ke sana dengan dibantu beberapa tukang.
Saat sedang memperbaiki langit-langit kamarnya secara tak sengaja lemari bukunya
jatuh yang menyebabkan buku-bukunya berserakan dilantai.
Aku pun menegakkan lemari
buku tadi pada tempatnya dan mulai merapihkan buku-bukunya. Namun entah mengapa
aku melihat sebuah Buku Harian berwarna ungu. Ternyata diam-diam Ningsih sering
menulis segala sesuatunya di Buku Hariannya. Entah mengapa ada keinginan kuat
untuk aku membacanya. Maka ku buka Buku Harian tersebut secara perlahan-lahan halaman
demi halaman dan mulai membacanya. Hingga pada halaman akhir, aku menemukan
tulisan yang menarik.
Aku tidak habis pikir mengapa Abang Pramudya tetap
memperlakukanku selayaknya adik kecilnya. Sepuluh tahun sudah waktu telah berlalu,
namun kulihat sikap diri Abang memang tak berubah. Entah kenapa Abang masih memperlakukanku
seperti anak berumur delapan tahun ketika pertama kali aku bertemu dengannya.
Padahal saat ini aku sudah menjadi seorang gadis dewasa.
Aku tidak tahu mengapa perasaan ini datang setahun yang lalu.
Aku menyadari bahwa di usiaku ini memang sudah sepantasnya mulai mengenal
cinta. Setiap kali aku berada di dekat Abang hatiku bergemuruh. Perasaanku
menjadi tidak menentu. Ya, aku akui bahwa aku jatuh cinta ke Abang.
Tapi aku hanyalah wanita. Tidak pantas bagi seorang wanita
untuk menyatakan cinta kepada laki-laki. Aku tidak tahu apakah Abang punya
perasaan yang sama terhadapku ?
Abang Pramudya, tahukah Abang bahwa Ningsih sekarang bukanlah
gadis ingusan yang Abang kenal sepuluh tahun yang lalu? Kini Ningsih sudah
menjadi wanita dewasa. Ingin sekali Ningsih merasakan manisnya Cinta dan Kasih
Sayang layaknya dari seorang pria kepada wanita. Layaknya sepasang kekasih yang
saling mencintai. Apakah harapan ini tidak berlebihan ?
Aku menutup Buku Harian
itu dan mengembalikan ke tempatnya. Aku pun melanjutkan pekerjaanku memperbaiki
langit-langit kamarnya.
Hari-hari berikutnya aku
tetap bersikap biasa saja dengan Ningsih. Aku pun mencurahkan fokusku untuk
meningkatkan bisnis dan usahaku. Aku pun mendapat bantuan permodalan dari Pak
Sumardi, seorang pengusaha tingkat nasional, untuk mengembangkan usahaku. Aku
pun menjalankan amanah itu dengan penuh tanggung jawab. Tak heran jika kemudian
dari hasil bisnisku aku bisa membeli rumah yang tergolong mewah lengkap dengan
kendaraan terbaru. Aku pun bangga pada diriku sendiri.
“Sepertinya ada yang
kurang nih, Mas Pramudya”, kata Pak Sumardi ketika berkunjung kerumahku.
“Apa yang kurang Pak?
“tanyaku. “Semua perabotannya lengkap. Ada kolam renang, lapangan luas, garasi
bisa masuk tiga mobil, lima kamar tidur, tiga kamar mandi, dan ada dua pembantu
yang siap membersihkan rumah siang malam juga penjaga rumah di depan”, kataku.
“Ha ha ha, jelas kurang
satu!”, katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Yang kurang itu adalah
Nyonya Rumah!”, katanya sambil terkekeh.
“Rumah itu baru lengkap
kalau ada Nyonya Rumahnya. Rumah Mas Pramudya ini jelas gak ada Nyonya
Rumahnya. Itu yang Saya bilang tidak lengkap”, katanya sambil terus tersenyum
lebar.
“Ah Pak Sumardi bisa
saja. Apa ada yang mau dengan bujang lapuk yang sudah berumur 30 tahun kayak saya?”,
kataku merendah.
“Mau Saya carikan Mas?”,
katanya serius. “Pasti banyak yang mau sama Mas”, katanya lagi.
“Gak usah lah Pak. Soal
itu, biar saya yang cari saja”, kataku. Kemudian kami pun kembali membicarakan
bisnis dan kemudian makan siang bersama.
Setelah Pak Sumardi pamit
dan pergi, entah mengapa perkataannya terngiang di telingaku. Ya memang Rumah
Besar nan Mewah ini belum ada Nyonya Rumahnya. Aku pun ternyata memang fokus
kepada diriku sendiri. Jujur saja, semenjak kecil aku sudah tidak tahu siapa
Ayah dan Ibu kandungku karena sejak lahir sampai berusia 6 tahun aku dirawat di
Panti Asuhan sebelum akhirnya aku diangkat anak oleh Seorang Haji keturunan
Tionghoa yang jago Wushu. Beliaulah yang membiayaiku sampai lulus SMA sebelum beliau
wafat dan kemudian mewariskan seluruh ilmu Wushunya kepadaku. Setelah beliau wafat,
aku meneruskan kuliah sambil memberi pengajaran Wushu kepada anak-anak dan
remaja. Lama-kelamaan bisnisku pun berkembang sampai sekarang.
Kemudian, tiba-tiba saja
ingatanku melayang ke Ningsih. Ya, entah mengapa dalam pikiranku kembali muncul
tulisan-tulisan di Buku Harian Ningsih yang tak sengaja kubaca beberapa minggu
yang lalu. Semakin lama semakin kuat, bahkan hingga terbawa mimpi. Bahkan aku
mengingat janjiku kepada Neneknya Ningsih sebelum meninggal. Keadaaan itu pun
berlangsung hingga berhari-hari. Suatu pagi, aku terbangun. Aku masih tertegun
di tempat tidur. “Apakah mungkin dialah pendamping hidupku?”, kataku bergumam.
“Ya, pastilah dia orangnya”, kataku pada diriku sendiri.
Setiba di tempat
Gymnasium aku menelpon Ningsih supaya datang ke Kantin pagi harinya dimana
mumpung belum ada yang datang. Tak lama kemudian kulihat Gadis berjilbab putih
dengan rok panjang berwarna coklat muda datang menuju kearahku dan mengucapkan
salam. Setelah menjawab salamnya aku mempersilahkannya duduk di kursi kantin.
Dia pun kemudian duduk.
“Ningsih”, kataku membuka
pembicaraan. “Boleh aku mengatakan sesuatu yang sangat penting kepadamu?”,
tanyaku.
“Silahkan bang”, katanya
sambil menunduk.
“Aku mencintaimu
Ningsih”, kataku. Kulihat Ningsih menatap wajahku sambil menyunggingkan senyum
kecil.
“Tapi terus terang aku
gak mungkin mencintai wanita yang tidak pernah bisa aku miliki”, kataku dengan
serius lagi. Kulihat dia kembali menunduk.
“Karenanya, aku ingin
memilikimu. Maukah kamu menjadi istriku Ningsih?”, kataku dengan nada yang
jelas.
Ningsing menegakkan
pandangannya dia pun menatap mataku. Namun kemudian kembali tertunduk dan
terdiam.
“Tolong Ningsih, jawab
dengan jujur dan segera. Maukah kamu menjadi istriku?”, kataku dengan tegas dan
keras.
Tiba-tiba kulihat Ningsih
makin tertunduk dan menangis. Air matanya mulai tertumpah. Dia pun menyeka air
matanya dengan ujung kain jilbabnya.
“Mengapa kamu menangis?
Apakah aku sudah melukai perasaanmu?”, tanyaku dengan nada cemas.
“Bukan Bang. Ningsih
menangis bukan karena terluka. Tapi Ningsih terharu. Setiap malam Ningsih
berdoa supaya Allah menggetarkan hati Abang untuk membalas perasaan cinta
Ningsih yang mendalam ke Abang dan menjadikan Ningsih sebagai kekasih Abang.
Tapi rupanya ini melebihi harapan Ningsih. Yang terjadi sekarang, Abang malah meminta
Ningsih menjadi istri Abang.
Jangan tanya lagi Bang
keseriusan hati Ningsih. Ningsih sudah pasti setuju diperistri Abang. Ningsih
bersedia dinikahi Abang”, katanya sambil menahan tangis.
Aku pun tersenyum dan
mengucapkan hamdalah. Segera aku minta Ningsih untuk mengikutiku ke Kantor
Urusan Agama terdekat untuk segera mendaftarkan pernikahan.
Tiga hari setelah itu,
tepatnya Jumat siang setelah Shalat Jumat, Ruang Aula Kantor Urusan Agama di
Kecamatanku menjadi saksi bisu pernikahan antara Aku dan Ningsih. Mengingat
kami sama-sama sudah Yatim Piatu maka Ningsih diwalikan oleh Wali Hakim yang
disediakan oleh Kantor Urusan Agama dan saksi pernikahan pun diambil dari staf
yang sehari-hari bekerja di Kantor tersebut. Pernikahan pun dihelat dengan sederhana.
Setelah selesai ijab kabul aku pun memboyong Ningsih ke rumahku dimana
dirumahku aku menggelar pesta sederhana yang hanya mengundang lingkungan
sekitar dan teman-teman terdekat.
Setelah pesta selesai aku
menunaikan Shalat Isya berjamaah bersama Ningsih. Kupandangai Wanita Berjilbab
rapi yang kini menjadi istriku. Lalu kukatakan kepadanya
“Sayang, ada yang aku
ingin lakukan kepadamu seharusnya dari dulu-dulu. Tapi waktu itu aku gak berani
sama sekali”, kataku kepadanya.
“Apa itu bang”, katanya dengan
senyum mengembang. Cantik sekali wajahnya!
Tanpa banyak berkata-kata
kupeluk dirinya dan kemudian mendaratkan ciuman dibibirnya. Ningsih pun
terkaget namun kemudian membuka mulutnya agar lidahku bisa masuk. Kami pun
saling mengait lidah dan mulai saling melucuti
pakaian kami. Sesaat kemudian, tubuh kami yang sudah tanpa busana dilanda lautan
keringat panas, dalam melakukan apa yang belum pernah kami alami sebelumnya, dalam
merasakan apa yang tak pernah dirasakan sebelumnya!
Empat Bulan Kemudian .....
Aku membuka mataku.
Ternyata hari sudah siang. Aku masih merasakan kenikmatan semalam dimana aku
dan Ningsih tenggelam dalam lautan birahi tanpa tepi. Kemudian, kulihat Ningsih
yang masih mengenakan kemben pendek, yang memperlihatkan kedua bahu, dada dan
pahanya yang putih mulus, mendekat kepadaku dan kemudian mengecup bibirku.
“Udah siang Bang. Katanya
mau ketemuan sama calon investor”, katanya dengan
senyum yang indah.
Aku pun membalas
senyumannya. Terlihat perutnya yang membuncit terbungkus oleh kain kembennya.
Namun hal itu tidak mengurangi kecantikannya.
“Aku mau ganti baju dulu
ah. Kalau pake kemben pendek kayak gini nanti Abang makin malas pergi kerja”,
katanya sambil tersenyum genit.
Aku pun membalas
senyumannya dengan tersenyum lebar dan bangun dari tempat tidurku untuk kemudian
menuju Kamar Mandi untuk mandi. Setelah Mandi aku berpakaian dan menuju meja
makan. Ningsih, yang sudah berganti pakaian dengan memakai gamis terusan
panjang dipadu dengan celana panjang, menuangkan nasi goreng ke atas piring dan
menyerahkannya kepadaku.
“Lho, kamu gak makan?”,
tanyaku. “Kasian anak kita Sayang”, jawabku dengan nada memelas.
“Gak apa-apa Bang. Nanti
aku pasti makan. Abang dulu yang makan”, katanya dengan senyum yang indah.
Selesai sarapan aku pun
berangkat. Kembali kukecup bibirnya dan dia membalas dengan senyum indah.
Kusibakan rambut ikalnya dan kukecup keningnya. Ningsih pun membalas dengan
senyuman yang memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“Kamu cantik sekali Sayang”,
kataku. “Aku pergi dulu. Titip bayi kita. Assalamu’alaikum”,
kataku.
“Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuhu. Hati-hati di jalan
Bang. Jangan lupa banyak doa”, katanya.
Kulihat senyumnya
mengembang dan mulai melambaikan tangannya sesaat mobilku bergerak maju. Ku
pandangi wanita cantik berkulit putih dan berambut ikal tersebut tersenyum
kepadaku. Kemudian kupacu kendaraanku menyusuri jalanan yang masih lengang
tersebut. Langit pagi itu benar-benar indah. Seindah kehidupanku yang makin
berwarna akan kehadirannya!
Inspired by “Gadis Kecilku” by anonymous author in Saung
Angklung Udjo
Jakarta, 20 Oktober 2015