Pengantar:
Dalam blog ini, saya mencoba menulis reka ulang sejarah atas beberapa
fakta sejarah yang muncul. Tentunya, di dalam penulisan ini saya mencoba
memasukan sedikit unsur fiksi yang berasal dari imajinasi saya sendiri. Namun
demikian, hal tersebut tidak mengurangi unsur sejarah yag terkandung di
dalamnya.
Selamat membaca!
Roma, Tahun 631 Masehi
Deru kaki kuda itu pun mulai terdengar semakin kencang. Kuda yang
ditunggangi oleh pria yang berbaju rapi dan berwajah tampan itu mulai memasuki
pelataran istana sang Kaisar Romawi. Kemudian berhenti tepat di depan para
penjaga. Sang pria itu pun turun dan menerangkan maksud kedatangannya. Mulanya
para penjaga tidak akan memberikan izin untuk masuk. Namun melihat dari si pria
tersebut membawa surat diplomatik penting, maka mereka mengizinkannya untuk
memasuki istana. Tanpa banyak basa-basi segera saja si penunggang kuda tersebut
memasuki istana sang kaisar.
Tibalah dia di hadapan Kaisar Romawi yang bernama Heraklius. Setelah
memberikan hormat, pria tadi mengeluarkan selembar surat penting. Lengkap
dengan cap diplomatik. Surat tersebut disampaikan kepada Kaisar Heraklius.
“Tolong terjemahkan isi surat itu kepadaku, lalu bacakan”, kata sang
kaisar. “Aku tidak mengerti Bahasa Arab”, katanya lagi.
Maka dibacakan terjemahan isi surat tersebut,
Dengan Nama Allah yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang
Dari hamba Allah dan Rasul-Nya,
Muhammad bin Abdullah
Kepada Heraklius, Kaisar Romawi
Saya menawarkan Islam kepada
anda. Karenanya, mari anda bergabung untuk masuk ke dalam Islam. JIka anda
tidak menerima Islam, sungguh anda akan menanggung dosa Arius berikut
pengikutnya.
Katakanlah, Hai Ahli Kitab,
marilah berpegang teguh kepada satu kalimat yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu bahwa tidak ada kita sembah selain Allah dan tidak ada
persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan tidak pula sebagian dari kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka
berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikan bahwa kami adalah muslim”.
Tertanda,
Muhammad bin Abdullah.
Tersentak Heraklius mendengar isi surat yang dibacakan oleh pria tadi, dimana
surat itu menyebut nama Arius! Yang dia
ketahui, nama itu sudah terkubur selama tiga ratus tahun. Tidak ada yang tahu
tentang Arius, kecuali para kaisar dan keturunannya. Darimana dia, orang yang
bernama Muhammad bin Abdullah dan berasal dari padang pasir yang tandus bisa
tahu?
Ingatan Heraklius tertuju ke kejadian tiga ratus tahun yang lalu.
Menindaklanjuti Konsili Nisczhea pada tahun 325 Masehi, maka seluruh Romawi
sepakat untuk menerima Agama Nasrani yang sudah dimodifikasi sesuai dengan
keinginan penguasa Romawi saat itu. Dimana doktrin Agama Nasrani menetapkan
bahwa ada Trinitas yang merupakan satu kesatuan. Yakni Tuhan Bapak, Tuhan Anak
dan Roh Kudus. Tuhan Bapak adalah Allah, Tuhan Anak adalah Yesus. sedangkan Roh
Kudus adalah Tuhan Pembawa Wahyu. Hasil konsili menetapkan bahwa doktrin
tersebut merupakan dogma yang tidak boleh dibantah apalagi dipertanyakan. Barang
siapa yang menentang dogma tersebut maka akan disebut sesat dan di cap sebagai pemberontak
negara yang sangat berbahaya.
Seluruh rakyat menerima dogma tersebut dan ramai-ramai memeluk agama
baru yang sudah di modifikasi tersebut. Semua menerima, kecuali seorang pendeta
bernama Arius. Arius menentang dogma tersebut. Arius berkeyakinan bahwa Tuhan
adalah Satu. Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan Yesus. adalah
utusan-Nya kepada umat manusia. Tidak mungkin, utusan Tuhan menjadi Tuhan.
Bahkan, Yesus sendiri menegaskan dalam Kitab Injil, bahwa beliau hanya Nabi dan
Rasul-Nya.
Mulanya dakwah Arius dianggap sebagai angin lalu oleh penguasa. Namun
lama kelamaan menjadi gerakan dakwah yang meluas dan mendapatkan dukungan.
Ditambah lagi sikap pemerintahan Kaisar Romawi yang cenderung suka menindas dan
korup, pejabatnya hidup bermewah-mewahan sementara rakyatnya banyak yang hidup
miskin dan menderita, pajak yang tinggi namun rakyat tidak sejahtera, dan
berbagai bentuk penyimpangan lainnya maka banyak orang bergabung dengan gerakan
Arius ini. Di berbagai tempat, Arius menyampaikan dakwahnya. Agar manusia
kembali menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan mengimani Yesus sebagai Nabi dan
Rasul-Nya, juga tidak lupa untuk menjalankan seluruh ajaran beliau yang memuat
kesetaraan kedudukan seluruh manusia dihadapan Tuhan.
Tentu saja penguasa Romawi berang. Mereka mulai mencoba segala cara
untuk membungkam dakwah Arius. Mulai dari cara halus dengan bujuk rayu dan
iming-iming kekayaan hingga cara kasar yaitu dengan penangkapan dan penjara.
Namun ternyata, penjara bukanlah halangan bagi Arius dan pengikut setianya
untuk mendakwahkan hal yang benar. Akhirnya, Kaisar Romawi mengeluarkan titah
yang tidak boleh dibantah. Arius dan Pengikutnya wajib dibunuh tanpa kecuali.
Termasuk anak keturunan bahkan bayi yang baru lahir pun juga wajib dibunuh!
Arius dan pengikutnya akhirnya dieksekusi dengan kejam. Hari-hari
berikutnya, selama tujuh tahun ke depan terjadi perburuan terhadap para
pengikut ajaran Arius. Mereka yang tertangkap lalu dibunuh secara keji. Bukan
saja dibunuh, namun buku-buku mereka di rampas untuk kemudian dibakar. Selama
empat puluh tahun, pembersihan dan pembasmian terhadap ajaran Arius bersifat
sistematis dan masif. Sehingga, lima puluh tahun kemudian, seluruh rakyat
Romawi sudah melupakan Arius dan ajarannya. Nama Arius hanya tersebar di
kalangan Kaisar dan keturunannya. Bukan bermaksud untuk mempelajari ajarannya,
namun lebih menitikberatkan kepada kebencian akan ajaran Arius yang dianggap sesat
dan menyimpang.
Heraklius masih terpana. Tatapan matanya kosong. Namun otaknya berpikir
keras. Mengapa seorang Arab yang berasal dari tanah padang pasir nan tandus,
hidup ditengah suku yang barbar, dan tidak bisa membaca dan menulis, bahkan
surat yang disampaikannya pun ditulisi orang lain, mengenal nama Arius? Bahkan
nama itu sudah terkubur selama tiga ratus lalu, namun mengapa si orang Arab
bernama Muhammad bin Abdullah dan mengaku sebagai utusan Tuhan itu malah
mengetahuinya? Dijaman itu, buku-buku sangat terbatas. Jarak antara Roma dengan
Madinah di Jazirah Arab hampir dua bulan perjalanan dengan berkuda. Belum ada
telepon, faksimili apalagi internet. Mengapa dia begitu mengenal Arius?
Dalam hati, Heraklius berkecamuk perasaan lain. Dia, Muhammad bin
Abdullah, mengaku sebagai utusan Tuhan. Sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Tentu saja
hal itu benar, sebab tidak ada seorang pun yang tahu siapa Arius. Jangankan
orang diluar Romawi, di dalam Romawi pun tidak mengenal siapa Arius. Darimana
dia tahu siapa Arius kalau bukan dari Tuhan yang mengutusnya? Ya, dia pasti
utusan Tuhan sebagaimana yang tertera dalam Kitab Injil. Heraklius masih ingat,
meskipun Kitab Injil sudah mengalami banyak modifikasi namun masih terselip
ayat-ayat yang bercerita tentang utusan Tuhan yang terakhir. Ya, pastilah dia
orangnya.
Namun tiba-tiba ada perasaan yang lain menyergah hatinya. Apa jadinya
jika seorang Kaisar Romawi, sang penguasa benua biru, yang memiliki ratusan
ribu bala tentara yang ditakuti seluruh dunia, tiba-tiba harus mengikuti ajaran
baru dari tanah padang pasir nan tandus dan gersang, bahkan sang tokoh pun
tidak bisa membaca dan menulis? Mau ditaruh dimana kehormatan dan keagungan
kekaisaran Romawi jika Heraklius mengikuti ajaran Muhammad bin Abdullah, orang
yang berasal dari padang pasir yang tidak punya apa-apa selain beberapa
pengikut setia? Lalu apa kata dunia, jika Heraklius Sang Kaisar Romawi yang
perkasa sekaligus penguasa Tanah Benua Eropa, tunduk dan patuh kepada seorang dari Tanah
Arab yang bukan siapa-siapa itu?
Pikiran dan perasaan Heraklius berkecamuk. Batinnya tidak tenang. Antara
menerima atau menolak ajaran dari Muhammad bin Abdullah tersebut. Hatinya
bercampur antara galau dan bimbang. Namun entah mengapa ada keberanian untuk
berkata-kata. Dia pun berujar kepada sang utusan, “Sampaikan kepada Nabi anda
bahwa saya menolak ajarannya. Namun demikian, anda saya perlakukan dengan baik
layaknya tamu Kaisar yang lain”.
“Baiklah tuan kaisar. Terima kasih. Namun saya sama sekali tidak punya
kepentingan disini. Oleh karena itu, Saya mohon pamit”, demikian kata sang
utusan kemudian dia pun pergi.
Heraklius pun hanya memandangi sang utusan melangkah pergi. Dia masih
berpikir. Antara percaya dan tidak percaya dia telah menolak ajaran yang dibawa
Muhammad bin Abdullah tersebut. “Suatu hari, ajarannya akan sampai ditempat aku
berdiri”, demikian gumamnya. Namun entah mengapa rasa enggan tersebut masih
ada.
Heraklius kembali duduk di singgasanannya. Dia masih galau. Perasaannya campur aduk tidak karuan. Dia merasa, hari-hari kedepan sampai dengan ajalnya akan dipenuhi perasaan yang lain. Sebuah kegalauan hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Kini, dia hanya termangu, menantikan hari-hari yang panjang dengan perang perasaan di dalam hati yang tak pernah terbayangkan sebelumnya!