Kamis, 03 Desember 2015

MEMERANGI TERORIS CARA ISLAM

Sekelompok orang menyerukan dimana-mana bahwa Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah (KW) telah berhukum selain yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya. Menurut pendapat mereka hanya hukum yang diturunkan oleh Allah dan Rasul-Nya saja yang menjadi satu-satunya hukum yang wajib dipatuhi.  Karenanya, mereka menganggap Khalifah Ali bin Abi Thalib sudah keluar dari Islam alias Murtad. Bahkan disamakan dengan Thagut Fir’aun. Keadaan negara yang tengah mengalami krisis politik pasca terbunuhnya Amirul Mukminin Khalifah ‘Utsman bin Affan Dzunnurain rupanya dimanfaatkan sekelompok orang tertentu untuk mengail di air keruh dan menjadi pemicu lahirnya kelompok tersebut.

Kian lama pengaruh kelompok orang ini mulai mendapatkan dukungan yang meluas. Terutama kelompok masyarakat awam kebanyakan yang memang bukan Shahabat Rasulullah SAW. Dimana tentunya pemahaman keislaman mereka memang jauh lebih dibawah jika dibandingkan para Shahabat Rasulullah SAW. Saat itu, jumlah kelompok Shahabat Rasulullah SAW sudah mulai sedikit, lantaran banyak yang wafat ataupun gugur syahid di medan jihad.

Pengaruh kelompok orang yang semakin lama semakin membesar dan meluas ini mulai menimbulkan keresahan di seluruh wilayah kekhalifahan. Beberapa Shahabat Rasulullah SAW yang masih hidup prihatin terhadap perkembangan sosial dan politik masyarakat yang terjadi.

Salah satu Shahabat Rasulullah SAW termuda, Abdullah bin Abbas ra. berinisiatif menemui Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW. Maka terjadilah dialog diantara mereka pada pertemuan tersebut.

“Wahai Amirul Mukminin (Bapak Presiden-red), Saya menawarkan bantuan kepada anda. Apa pendapat anda jika Saya menemui mereka dan mengajak mereka berdialog secara terbuka? Mungkin saja, mata hati mereka akan kembali terbuka dan kembali kepada Pemerintahan Kaum Muslimin yang sah”, demikian ujar Abdullah bin Abbas.

“Wahai Ibnu Abbas (Sapaan Abdullah bin Abbas ra. – red). Sungguh mereka telah menggunakan kalimatul haq namun untuk tujuan bathil. Nantinya aku pasti akan memerangi mereka.
Namun tidak ada salahnya usulan yang engkau sampaikan. Adakanlah dialog dengan mereka. Kita lihat apakah mereka masih mau mendukung Pemerintahan Kaum Muslimin yang sah atau tidak”, demikian penegasan Khalifah Ali bin Abi Thalib KW.

Sebelum berangkat berdialog, Ibnu Abbas menata rambutnya dengan rapi dan memilih pakaian terbaiknya untuk dipakai. Beliau pun pergi ke tempat dialog dengan menggunakan keledai terbaiknya.

Sesampainya di tempat dialog, Ibnu Abbas menghitung jumlah peserta yang akan berdialog. Dari pihak Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW hanya diwakili oleh dirinya, sementara dari kelompok penentang berjumlah 12 ribu orang. Setelah mengucapkan salam, Ibnu Abbas turun dari keledainya dan mulai mendekat dan berdiri dengan gagah sambil mengajak mereka semua berdialog.

Salah seorang peserta berseru kepada yang lain, “Wahai kaum. Tahukah siapa yang ada di depan kita? Dia adalah Ibnu Abbas ! Shahabat Rasulullah SAW yang paling ahli berdebat ! Sungguh dialog ini jadi sia-sia karena Beliau pasti punya banyak seribu hujjah (alasan-red) untuk mematahkan argumen-argumen kalian!”.

Peserta yang lain menjadi riuh rendah. Mereka sangat paham, karena Ibnu Abbas adalah salah seorang Shahabat Rasulullah SAW yang di doakan sendiri oleh Rasulullah SAW menjadi ahli debat yang berkualitas. Bukankah doa seorang Rasul pasti dikabulkan oleh Allah?

Ibnu Abbas paham betul kegelisahan mereka. Pastilah mereka tidak akan menerima alasan-alasan yang disampaikannya  meskipun alasannya masuk akal sekalipun. Mereka pasti akan menolak pendapat seorang Shahabat Rasulullah SAW, karena mereka hanya mempercayai apa-apa yang dituliskan Al Qur’an dan Hadis saja.

“Baiklah”, kata Ibnu Abbas. “Kalau begitu, silahkan ajukan pertanyaan-pertanyaan kalian. Aku hanya akan menjawab dengan menggunakan Al Qur’an dan Hadis saja. Jika aku berhasil menjawab semua pertanyaan kalian dengan hanya menggunakan Al Qur’an dan Hadis saja, apakah kalian mau kembali  mendukung Pemerintahan Kaum Muslimin yang sah, dibawah kepemimpinan Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib?”, tanya Ibnu Abbas.

“Ya ! Kami akan kembali mendukung pemerintahan Ali bin Abi Thalib”, jawab mereka serempak.

Maka satu per satu dari mereka menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada Ibnu Abbas. Terkadang mereka memberikan pertanyaan yang sangat menyulitkan. Namun Ibnu Abbas berhasil menjawab semua pertanyaan mereka dengan logis, sistematis dan mudah dipahami. Sesuai dengan janjinya, Ibnu Abbas hanya menggunakan Al Qur’an dan Hadis saja untuk menjawab pertanyaan dan mematahkan argumentasi mereka.

Akhirnya, para peserta pun satu per satu kehabisan kata-kata dan terlihat letih, lesu, lemah dan tak bertenaga. Semua pertanyaan, bantahan, argumentasi dan keraguan mereka telah berhasil dipatahkan oleh Ibnu Abbas dengan hanya menggunakan Al Qur’an dan Hadis saja dalam menghadapi mereka. Namun keadaan berbeda justru terlihat di diri Ibnu Abbas. Beliau masih nampak segar, bertenaga dan terlihat masih sanggup untuk berdebat lebih lama.

Mereka pun tidak sanggup berdebat lagi. Secara serempak mereka pun mengaku kalah. Sesuai janji yang diucapkan pada awal dialog, satu per satu mereka menyatakan kembali mendukung pemerintahan Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW. Dari 12 ribu orang, tercatat 8 ribu orang yang menyatakan kembali mendukung pemerintah. Sisanya, sebanyak 4 orang menyatakan tetap menolak.

Ibnu Abbas kembali dan melaporkan hasil dialognya kepada Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW. Lalu,  Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW berkata:

“Sampaikan kepada 4 ribu orang yang masih bertahan tersebut. Aku tidak akan menahan atau memerangi mereka. Kecuali apabila mereka menyabotase jalan, merusak infrastruktur, dan atau merampas harta dan nyawa para ahlu dzimmah (Non Muslim yang hidup damai dengan Kaum Muslimin-red), maka aku pasti akan menghadapi mereka dengan senjata !”, demikian penegasan Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib KW.

Keempat ribu orang tadi pergi dari Madinah dan menuju Irak. Akhirnya mereka menetap di Nahrawan (12 km dari Baghdad, Irak –red). Apa yang terjadi kemudian? Mereka mulai menyabotase jembatan yang biasa dilalui khafilah dagang. Merusak tempat-tempat umum. Membakar gereja, sinagog, kuil dan membunuh para ahlu dzimmah. Bahkan tak tanggung-tanggung, beberapa kaum muslimin juga ikut menjadi korban keganasan mereka.

Mendengar laporan dari Gubernur Irak, maka Amirul Mukminin Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirimkan pasukan ke Nahrawan untuk menumpas mereka. Terjadilah pertempuran dahsyat dan dimenangkan oleh Pasukan Pemerintah. Dalam pertempuran itu, sebanyak 70 orang pimpinan pihak teroris terbunuh dan jenazah mereka dibawa dan diletakkan di halaman Masjid Agung Baghdad.

Salah seorang Shahabat Rasulullah SAW yang ahli ibadah dan bermukim di Baghdad, yakni Abu Ayub Al-Anshari ra. berkunjung ke halaman Masjid Agung. Setelah melihat jenazah-jenazah para teroris ini, air mata beliau tertumpah dan mulai menangis.

Gubernur Irak yang melihat Abu Ayub Al-Anshari ra. menangis,  mendekati dan hendak bertanya kepada beliau.

Namun Abu Ayub Al-Anshari ra. yang malah berkata kepada Sang Gubernur.

“Subhanallah. Lihatlah Pak Gubernur. Lihatlah bagaimana perbuatan setan kepada anak cucu Adam ini”, kata Abu Ayub Al-Anshari ra. kepada Gubernur Irak sambil menunjuk ke arah jenazah-jenazah para teroris.

“Lalu mengapa Engkau menangis, Wahai Shahabat Rasulullah SAW yang mulia? Apa yang menyebabkan Engkau bersedih?”, tanya Sang Gubernur kepada Shahabat Rasulullah SAW yang terkenal ahli ibadah ini.

“Aku menangis, karena dahulunya mereka bagian dari Kaum Muslimin. Karena godaan dan fitnah setanlah, yang menjadikan mereka keluar dari barisan Kaum Muslimin”, pungkas Abu Ayub Al-Anshari ra.

Referensi:


Kitab Bidayah wan Nihayah, karya Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani