Selasa, 27 Oktober 2015

Cerita Fiksi III

“Hey, hentikan!”, teriakku sambil mendekat ke kumpulan remaja tanggung yang sedang mengacak-acak dagangan kue seorang gadis cilik yang sedang menangis.

Langsung kumuntahkan semua pukulan dan tendangan wushu ku kearah mereka.  Mereka pun lari tunggang-langgang karena terkena pukulan dan tendanganku yang sangat telak menghajar muka, dada dan perut mereka.

“Kamu tidak apa-apa dik?”, tanyaku ke gadis cilik berkulit putih tersebut.

“Gak apa-apa bang. Tapi kue Ningsih habis semua. Hari ini Ningsih belum dapat uang”, katanya sambil menangis.

“Mereka memalak Ningsih bang. Ningsih sudah bilang gak punya uang. Mereka tetap maksa. Jadi begini bang”, katanya sambil sesegukan.

Aku pun merasa iba. Kemudian memeluk tubuhnya.

“Sudah, kamu jangan nangis ya. Abang antar kamu pulang ke rumah. Oh ya lebih baik kamu ambil uang ini,” kataku sambil melepaskan pelukanku dan menyerahkan lima lembar uang lima puluh ribuan.

“Banyak benar bang. Nanti Ningsih ditanya-tanya sama nenek gimana?”, katanya polos.

“Bilang saja dagangan kamu laku keras. Ada yang beli kue dengan harga mahal tanpa menawar”, kataku meyakinkannya.

“Ayo Abang antar kamu pulang”, kataku sambil menggandeng tangannya. Dia pun menuruti langkahku.

“Rumah Ningsih jauh Bang. Abang gak apa-apa mengantar Ningsih”, katanya dengan nada sedih.

“Gak apa-apa. Sekalian Abang silaturrahmi ke Nenek Ningsih”, kataku lagi.

Kami pun berjalan menyusuri gang dan jalanan kecil di pinggiran Ibu Kota ini.

Sambil berjalan aku coba bertanya tentang dirinya. Ternyata Ningsih baru berusia 8 tahun dan sudah yatim piatu. Ayahnya meninggal waktu dia berumur dua tahun karena kecelakaan kerja. Ibunya menyusul ayahnya dua tahun kemudian karena kecelakaan lalu lintas. Kini, Ningsih diasuh oleh Sang Nenek, yang merupakan Ibu dari Ibunya yang juga sudah menjanda selama hampir 15 tahun.

Setelah berjalan kaki selama hampir 1 jam, aku pun tiba di rumah sangat sederhana namun ternyata sangat bersih dan rapih.

Setelah mengucapkan salam aku pun ditemui oleh seorang nenek yang baik. Dia pun mempersilahkan aku masuk.

“Silahkan Bang. Abang duduk di dalam. Nenek mau buatkan minum”, katanya sambil berjalan ke dalam rumah.

“Gak usah repot-repot Nek”, kataku. “Saya gak akan lama kok”.

Tetap saja si Nenek masuk ke dalam rumah dan kemudian kembali keluar dengan membawa segelas teh hangat buatku. Dia pun meletakan gelas tersebut diatas meja dan mempersilahkan aku untuk minum.

“Nek boleh saya bertanya?”, kataku. “Apakah Ningsih masih sekolah?”, tanyaku.

“Alhamdulillah masih bang. Kami mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga Ningsih bisa sekolah di pagi hari. Sedangkan siangnya dia berjualan kue membantu nenek”, kata sang nenek.

“Tapi nenek kok heran ya. Biasanya dia baru kembali berjualan pada sore. Ini masih siang sudah pulang. Uangnya pun banyak dan dagangannya habis?”, kata si Nenek bertanya-tanya. “Lalu hubungan Ningsih dengan Abang apa yaa?”, tanyanya lagi.

Aku pun tersenyum dan mencoba menimpali ucapannya.

“Saya kebetulan sedang butuh kue banyak nek, buat merayakan ulang tahun teman. Kebetulan Ningsih lewat dan kuenya masih banyak. Jadi saya borong semuanya. Kebetulan juga saya sedang banyak uang. Jadi saya bayar dengan harga mahal”, kataku mencoba berbohong.

“Tapi kan harga kuenya tidak sebesar itu bang. Paling banter gak sampai lima puluh ribu. Sementara Abang ngasih dua ratus lima puluh ribu. Apa gak kemahalan?”, tanya si Nenek.

“Gak kok nek. Saya ikhlas. Itung-itung bantu nenek juga”, kataku sambil tersenyum.

Ningsih keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian. Dia pun mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku pun memberikan nomor HP kepadanya kalau-kalau dia membutuhkan bantuan.

Sebelum pamit aku berkata kepada Ningsih.

“Ningsih, nanti kalau mau jualan tolong telepon Abang ya. Nanti Ningsih abang jemput. Ada tempat yang bagus buat Ningsih berjualan kue”, kataku kepadanya. Ningsih pun mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian, aku berpamitan kepada si Nenek dan pergi keluar dari rumah itu.

Keesokan siangnya, Ningsih menelepon ke HPku dan bilang dia mau ikut berjualan dengan ku. Kebetulan juga aku baru saja selesai kuliah. Langsung ku pacu sepeda motor bekasku menuju rumahnya.

Aku pun membawa Ningsih ke tempat aku biasa melatih para muridku untuk belajar Wushu. Kemarin, sepulang dari rumahnya aku menemui pengelola tempat latihan supaya bisa memberikan tempat buat Ningsih berjualan kue disana. Si pengelola pun setuju.

Ningsih pun kemudian menjual kue dagangannya di tempat latihan Wushu. Selesai latihan para muridku ramai-ramai membeli dagangan Ningsih. Dari percapakan mereka, ternyata mereka sangat menyukai kue dagangan Ningsih karena enak. Dalam hitungan satu jam, dagangannya pun ludes. Ningsih tersenyum karena mendapat banyak uang pada hari itu.

“Terima kasih ya bang. Abang udah membantu Ningsih”, katanya sambil tersenyum.

“Nah, kalau gitu tiap hari Ningsih berdagang disini saja ya! Insya Allah, gak ada yang ganggu Ningsih lagi. Setuju?”, sambil mengulurkan telapak tanganku.

Ningsih pun tertawa dan menepuk telapak tanganku. Aku pun mengantarnya pulang.

Begitulah setiap harinya Ningsih berjualan di tempat latihan Wushu. Tenyata murid-muridku sangat menyukai kue dagangan Ningsih karena enak. Aku pun turut berbahagia karena tampaknya Ningsih sangat senang berjualan di tempat latihanku.

Tanpa sepengetahuanku Ningsih sering mempromosikan tempat latihan Wushuku kepada semua orang. Tak heran kalau muridku makin lama makin bertambah banyak. Aku pun berterima kasih kepadanya dan sering memberikan uang lebih selain dari hasil dagangannya. Ningsih pun benar-benar berterimakasih karena sejak berdagang di tempat latihanku kini dia dan neneknya dapat menabung dengan lancar.

Sepuluh Tahun kemudian .......

“Selamat Mas Pramudya, atas suksesnya bisnis Gymnasium dan Latihan Bela Diri ini”, kata Pak Sumarno, sang manajer Bank, sambil menyalamiku.

“Iya pak. Alhamdulillah, berkat persetujuan kredit yang Bapak berikan saya bisa mengganti peralatan yang lebih baru. Insya Allah, bulan depan saya akan buka cabang di tempat lain Pak”, kataku meyakinkan.

Aku pun teringat masa-masa ketika aku lulus kuliah. Aku memfokuskan diri untuk mengembangkan bisnis latihan wushuku. Aku pun pindah ke tempat yang lebih baik untuk menampung muridku yang semakin lama semakin banyak. Di tempat yang baru aku mencoba melebarkan bisnis ke bidang yang lain yakni bisnis fitnes dan body building. Karenanya, aku pun membuat paket jualan lengkap yakni body building dilengkapi dengan pelajaran bela diri Wushu. Tak heran sejak paket jualanku diluncurkan, banyak orang yang mendaftar untuk menjadi muridku.

Karena semakin berkembang maka aku memutuskan untuk membeli tempat tersebut dan mulai merenovasi secara besar-besaran. Sejak di renovasi dan diperluas, bisnisku pun semakin berkembang. Ada tawaran dari mantan muridku yang juga sudah menjadi instruktur wushu untuk membuka cabang di daerah tempat tinggalnya. Karenanya  aku mengajukan kredit ke Bank tempat Pak Sumarno bekerja untuk membeli tempat yang akan aku jadikan Cabang bisnisku.

Seiring dengan majunya bisnisku, aku pun meminta Ningsih untuk mengelola kantin yang ada di tempat bisnisku. Ningsih pun menyanggupi dengan syarat dilakukan sepulang sekolah. Karenanya setiap pulang sekolah Ningsih pun mengelola Kantin di Gymnasium dan setiap sore aku mengantarnya pulang. Hubunganku dengan Ningsih sudah seperti kakak-beradik. Neneknya pun senang kepadaku karena telah menjaga Ningsih sebagaimana seorang Kakak kepada Adiknya.

Ningsih memutuskan untuk menunda kuliah karena sedang mengurusi sang nenek yang sudah sakit-sakitan. Aku pun menghormati keputusannya dan juga memberinya kelonggaran waktu. Artinya dia boleh kapan saja datang untuk mengelola kantinku.

Malam itu aku membesuk Sang Nenek di rumah sakit. Nenek pun senang melihat aku datang. Aku pun mencium tangannya dan menanyakan kabarnya. Nenek pun menjawab kalau dia baik-baik saja.

“Bang Pramudya, nenek mau berpesan kepada Abang”, katanya. “Ningsih, boleh keluar sebentar? Nenek cuma mau bicara berdua dengan Bang Pramudya”, katanya kepada Ningsih. Kemudian, gadis berjilbab putih itu pun keluar dari ruangan.

“Silahkan nek”, kataku.

“Abang, umur nenek sudah gak akan lama. Nenek berterimakasih sama Abang karena telah membantu ekonomi kami”, katanya sambil memegang tanganku.

“Abang telah menjadi Kakak yang baik buat Ningsih. Nenek yakin, ditangan Abang, Ningsih akan semakin baik dan terjaga”, katanya.

“Tapi bagaimana pun, Abang dengan Ningsih bukanlah sekandung. Bukan muhrim. Nenek cuma ingin dan berharap kalau Abanglah yang menjadi suami Ningsih”, katanya.

“Berjanjilah Bang kepada Nenek. Kalau Abang kelak yang menjadi suami Ningsih”, katanya sambil berurai air mata.

“Insya Allah nek.”, kataku kemudian.

Tiba-tiba nafas nenek menjadi sesak. Segera aku memanggil suster untuk segera diberikan pertolongan. Suster pun memanggil dokter karena keadaan semakin parah. Ningsih pun masuk dan langsung menangis melihat keadaan nenek yang semakin parah. Dokter memerintahkan suster untuk dibawa ke ruang ICU. Segera saja nenek dibawa ke ICU dan kami pun diperintahkan untuk menunggu diluar. Aku mencoba menenangkan Ningsih yang masih terus menangis.

Untung tak dapat ditolak malang tak dapat diraih, Dokter pun keluar dari ruangan ICU dan memberitahu kami kabar duka. Maka meledaklah tangis Ningsih setelah mendengar kabar duka tersebut.

Setelah pemakaman nenek, aku memberikan kelonggaran waktu buat Ningsih untuk tidak datang ke kantin untuk sekedar menenangkan diri. Ningsih menolak lantaran dia ingin terus bekerja. Aku pun tidak menolak permintaannya. Ningsih pun bekerja seperti biasa.

Hingga beberapa minggu kemudian, Ningsih memintaku untuk memperbaiki langit-langit kamar rumahnya yang sudah lapuk dan jebol. Aku pun pergi ke sana dengan dibantu beberapa tukang. Saat sedang memperbaiki langit-langit kamarnya secara tak sengaja lemari bukunya jatuh yang menyebabkan buku-bukunya berserakan dilantai.

Aku pun menegakkan lemari buku tadi pada tempatnya dan mulai merapihkan buku-bukunya. Namun entah mengapa aku melihat sebuah Buku Harian berwarna ungu. Ternyata diam-diam Ningsih sering menulis segala sesuatunya di Buku Hariannya. Entah mengapa ada keinginan kuat untuk aku membacanya. Maka ku buka Buku Harian tersebut secara perlahan-lahan halaman demi halaman dan mulai membacanya. Hingga pada halaman akhir, aku menemukan tulisan yang menarik.

Aku tidak habis pikir mengapa Abang Pramudya tetap memperlakukanku selayaknya adik kecilnya. Sepuluh tahun sudah waktu telah berlalu, namun kulihat sikap diri Abang memang tak berubah. Entah kenapa Abang masih memperlakukanku seperti anak berumur delapan tahun ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Padahal saat ini aku sudah menjadi seorang gadis dewasa.

Aku tidak tahu mengapa perasaan ini datang setahun yang lalu. Aku menyadari bahwa di usiaku ini memang sudah sepantasnya mulai mengenal cinta. Setiap kali aku berada di dekat Abang hatiku bergemuruh. Perasaanku menjadi tidak menentu. Ya, aku akui bahwa aku jatuh cinta ke Abang.

Tapi aku hanyalah wanita. Tidak pantas bagi seorang wanita untuk menyatakan cinta kepada laki-laki. Aku tidak tahu apakah Abang punya perasaan yang sama terhadapku ?

Abang Pramudya, tahukah Abang bahwa Ningsih sekarang bukanlah gadis ingusan yang Abang kenal sepuluh tahun yang lalu? Kini Ningsih sudah menjadi wanita dewasa. Ingin sekali Ningsih merasakan manisnya Cinta dan Kasih Sayang layaknya dari seorang pria kepada wanita. Layaknya sepasang kekasih yang saling mencintai. Apakah harapan ini tidak berlebihan ?

Aku menutup Buku Harian itu dan mengembalikan ke tempatnya. Aku pun melanjutkan pekerjaanku memperbaiki langit-langit kamarnya.

Hari-hari berikutnya aku tetap bersikap biasa saja dengan Ningsih. Aku pun mencurahkan fokusku untuk meningkatkan bisnis dan usahaku. Aku pun mendapat bantuan permodalan dari Pak Sumardi, seorang pengusaha tingkat nasional, untuk mengembangkan usahaku. Aku pun menjalankan amanah itu dengan penuh tanggung jawab. Tak heran jika kemudian dari hasil bisnisku aku bisa membeli rumah yang tergolong mewah lengkap dengan kendaraan terbaru. Aku pun bangga pada diriku sendiri.

“Sepertinya ada yang kurang nih, Mas Pramudya”, kata Pak Sumardi ketika berkunjung kerumahku.

“Apa yang kurang Pak? “tanyaku. “Semua perabotannya lengkap. Ada kolam renang, lapangan luas, garasi bisa masuk tiga mobil, lima kamar tidur, tiga kamar mandi, dan ada dua pembantu yang siap membersihkan rumah siang malam juga penjaga rumah di depan”, kataku.

“Ha ha ha, jelas kurang satu!”, katanya sambil tertawa terbahak-bahak.

“Yang kurang itu adalah Nyonya Rumah!”, katanya sambil terkekeh.

“Rumah itu baru lengkap kalau ada Nyonya Rumahnya. Rumah Mas Pramudya ini jelas gak ada Nyonya Rumahnya. Itu yang Saya bilang tidak lengkap”, katanya sambil terus tersenyum lebar.

“Ah Pak Sumardi bisa saja. Apa ada yang mau dengan bujang lapuk yang sudah berumur 30 tahun kayak saya?”, kataku merendah.

“Mau Saya carikan Mas?”, katanya serius. “Pasti banyak yang mau sama Mas”, katanya lagi.

“Gak usah lah Pak. Soal itu, biar saya yang cari saja”, kataku. Kemudian kami pun kembali membicarakan bisnis dan kemudian makan siang bersama.

Setelah Pak Sumardi pamit dan pergi, entah mengapa perkataannya terngiang di telingaku. Ya memang Rumah Besar nan Mewah ini belum ada Nyonya Rumahnya. Aku pun ternyata memang fokus kepada diriku sendiri. Jujur saja, semenjak kecil aku sudah tidak tahu siapa Ayah dan Ibu kandungku karena sejak lahir sampai berusia 6 tahun aku dirawat di Panti Asuhan sebelum akhirnya aku diangkat anak oleh Seorang Haji keturunan Tionghoa yang jago Wushu. Beliaulah yang membiayaiku sampai lulus SMA sebelum beliau wafat dan kemudian mewariskan seluruh ilmu Wushunya kepadaku. Setelah beliau wafat, aku meneruskan kuliah sambil memberi pengajaran Wushu kepada anak-anak dan remaja. Lama-kelamaan bisnisku pun berkembang sampai sekarang.

Kemudian, tiba-tiba saja ingatanku melayang ke Ningsih. Ya, entah mengapa dalam pikiranku kembali muncul tulisan-tulisan di Buku Harian Ningsih yang tak sengaja kubaca beberapa minggu yang lalu. Semakin lama semakin kuat, bahkan hingga terbawa mimpi. Bahkan aku mengingat janjiku kepada Neneknya Ningsih sebelum meninggal. Keadaaan itu pun berlangsung hingga berhari-hari. Suatu pagi, aku terbangun. Aku masih tertegun di tempat tidur. “Apakah mungkin dialah pendamping hidupku?”, kataku bergumam. “Ya, pastilah dia orangnya”, kataku pada diriku sendiri.

Setiba di tempat Gymnasium aku menelpon Ningsih supaya datang ke Kantin pagi harinya dimana mumpung belum ada yang datang. Tak lama kemudian kulihat Gadis berjilbab putih dengan rok panjang berwarna coklat muda datang menuju kearahku dan mengucapkan salam. Setelah menjawab salamnya aku mempersilahkannya duduk di kursi kantin. Dia pun kemudian duduk.

“Ningsih”, kataku membuka pembicaraan. “Boleh aku mengatakan sesuatu yang sangat penting kepadamu?”, tanyaku.

“Silahkan bang”, katanya sambil menunduk.

“Aku mencintaimu Ningsih”, kataku. Kulihat Ningsih menatap wajahku sambil menyunggingkan senyum kecil.

“Tapi terus terang aku gak mungkin mencintai wanita yang tidak pernah bisa aku miliki”, kataku dengan serius lagi. Kulihat dia kembali menunduk.

“Karenanya, aku ingin memilikimu. Maukah kamu menjadi istriku Ningsih?”, kataku dengan nada yang jelas.

Ningsing menegakkan pandangannya dia pun menatap mataku. Namun kemudian kembali tertunduk dan terdiam.

“Tolong Ningsih, jawab dengan jujur dan segera. Maukah kamu menjadi istriku?”, kataku dengan tegas dan keras.

Tiba-tiba kulihat Ningsih makin tertunduk dan menangis. Air matanya mulai tertumpah. Dia pun menyeka air matanya dengan ujung kain jilbabnya.

“Mengapa kamu menangis? Apakah aku sudah melukai perasaanmu?”, tanyaku dengan nada cemas.

“Bukan Bang. Ningsih menangis bukan karena terluka. Tapi Ningsih terharu. Setiap malam Ningsih berdoa supaya Allah menggetarkan hati Abang untuk membalas perasaan cinta Ningsih yang mendalam ke Abang dan menjadikan Ningsih sebagai kekasih Abang. Tapi rupanya ini melebihi harapan Ningsih. Yang terjadi sekarang, Abang malah meminta Ningsih menjadi istri Abang.  

Jangan tanya lagi Bang keseriusan hati Ningsih. Ningsih sudah pasti setuju diperistri Abang. Ningsih bersedia dinikahi Abang”, katanya sambil menahan tangis.

Aku pun tersenyum dan mengucapkan hamdalah. Segera aku minta Ningsih untuk mengikutiku ke Kantor Urusan Agama terdekat untuk segera mendaftarkan pernikahan.

Tiga hari setelah itu, tepatnya Jumat siang setelah Shalat Jumat, Ruang Aula Kantor Urusan Agama di Kecamatanku menjadi saksi bisu pernikahan antara Aku dan Ningsih. Mengingat kami sama-sama sudah Yatim Piatu maka Ningsih diwalikan oleh Wali Hakim yang disediakan oleh Kantor Urusan Agama dan saksi pernikahan pun diambil dari staf yang sehari-hari bekerja di Kantor tersebut. Pernikahan pun dihelat dengan sederhana. Setelah selesai ijab kabul aku pun memboyong Ningsih ke rumahku dimana dirumahku aku menggelar pesta sederhana yang hanya mengundang lingkungan sekitar dan teman-teman terdekat.

Setelah pesta selesai aku menunaikan Shalat Isya berjamaah bersama Ningsih. Kupandangai Wanita Berjilbab rapi yang kini menjadi istriku. Lalu kukatakan kepadanya

“Sayang, ada yang aku ingin lakukan kepadamu seharusnya dari dulu-dulu. Tapi waktu itu aku gak berani sama sekali”, kataku kepadanya.

“Apa itu bang”, katanya dengan senyum mengembang. Cantik sekali wajahnya!

Tanpa banyak berkata-kata kupeluk dirinya dan kemudian mendaratkan ciuman dibibirnya. Ningsih pun terkaget namun kemudian membuka mulutnya agar lidahku bisa masuk. Kami pun saling mengait lidah dan mulai saling melucuti pakaian kami. Sesaat kemudian, tubuh kami yang sudah tanpa busana dilanda lautan keringat panas, dalam melakukan apa yang belum pernah kami alami sebelumnya, dalam merasakan apa yang tak pernah dirasakan sebelumnya!

Empat Bulan Kemudian .....

Aku membuka mataku. Ternyata hari sudah siang. Aku masih merasakan kenikmatan semalam dimana aku dan Ningsih tenggelam dalam lautan birahi tanpa tepi. Kemudian, kulihat Ningsih yang masih mengenakan kemben pendek, yang memperlihatkan kedua bahu, dada dan pahanya yang putih mulus, mendekat kepadaku dan kemudian mengecup bibirku.

“Udah siang Bang. Katanya mau ketemuan sama calon investor”, katanya dengan
senyum yang indah.

Aku pun membalas senyumannya. Terlihat perutnya yang membuncit terbungkus oleh kain kembennya. Namun hal itu tidak mengurangi kecantikannya.

“Aku mau ganti baju dulu ah. Kalau pake kemben pendek kayak gini nanti Abang makin malas pergi kerja”, katanya sambil tersenyum genit.

Aku pun membalas senyumannya dengan tersenyum lebar dan bangun dari tempat tidurku untuk kemudian menuju Kamar Mandi untuk mandi. Setelah Mandi aku berpakaian dan menuju meja makan. Ningsih, yang sudah berganti pakaian dengan memakai gamis terusan panjang dipadu dengan celana panjang, menuangkan nasi goreng ke atas piring dan menyerahkannya kepadaku.

“Lho, kamu gak makan?”, tanyaku. “Kasian anak kita Sayang”, jawabku dengan nada memelas.

“Gak apa-apa Bang. Nanti aku pasti makan. Abang dulu yang makan”, katanya dengan senyum yang indah.

Selesai sarapan aku pun berangkat. Kembali kukecup bibirnya dan dia membalas dengan senyum indah. Kusibakan rambut ikalnya dan kukecup keningnya. Ningsih pun membalas dengan senyuman yang memperlihatkan deretan gigi putihnya.

“Kamu cantik sekali Sayang”, kataku. “Aku pergi dulu. Titip bayi kita. Assalamu’alaikum”, kataku.

Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuhu. Hati-hati di jalan Bang. Jangan lupa banyak doa”, katanya.

Kulihat senyumnya mengembang dan mulai melambaikan tangannya sesaat mobilku bergerak maju. Ku pandangi wanita cantik berkulit putih dan berambut ikal tersebut tersenyum kepadaku. Kemudian kupacu kendaraanku menyusuri jalanan yang masih lengang tersebut. Langit pagi itu benar-benar indah. Seindah kehidupanku yang makin berwarna akan kehadirannya!


Inspired by “Gadis Kecilku” by anonymous author in Saung Angklung Udjo


Jakarta, 20 Oktober 2015




Senin, 12 Oktober 2015

Cerita Fiksi II




“Aku ingin putus denganmu”, katanya sambil melebarkan sepasang matanya yang bulat dan indah.

“Aku tak bisa menunggu lebih lama. Dalam hitungan hari aku akan diwisuda. Sedangkan kau? Hanya Tuhan saja yang tahu kapan kau akan lulus!”, katanya dengan nada meninggi dan ketus.

“Berikan aku waktu!”, sergahku kemudian. “Aku akan memperbaiki semuanya. Skripsi akan kuselesaikan dalam waktu dekat”, kataku sambil mencoba meyakinkannya.

“Dalam waktu dekat?”, katanya sambil nyinyir. “Kau sudah ucapkan itu setahun yang lalu! Bahkan berkali-kali”, sambungnya lagi. “Sudah bosan telinga ini mendengarnya!”.

“Dengarkan aku!”, kataku juga dengan nada tinggi. “Aku sedang berusaha menyusun skripsiku. Pagi ini aku sudah bertemu dengan Dosen Pembimbingku. Beliau sudah setuju dengan Tema yang kuajukan. Dalam hitungan semester aku pasti bisa lulus”, kataku sambil menjelaskan.

“Apa yang membuatmu yakin akan hal itu? Sudah lebih dari tiga kali kau menyampaikan hal yang sama. Skripsi pasti selesai. Buatku kau sudah tidak ada harapan lagi!”, katanya sambil berdiri lalu pergi meninggalkan aku.

“Aline tunggu !”, kataku sambil berdiri dan berusaha mengejar. Namun sayang langkahku terhenti oleh pelayan kafe yang meminta supaya bon minumanku dan Aline supaya dibayar. Dasar sial! Rupanya dompetku tertinggal di meja. Segera saja aku mengambil dompet diatas meja, mengeluarkan uang dari dompet untuk membayar dan segera pergi dari kafe tersebut. Tapi sayang, Aline sudah keburu menghilang.

Aku pun berjalan pelan meninggalkan Kafe tersebut. Sambil melangkah aku memutar kembali memori kehidupanku.

Sejujurnya, pada awalnya kuliahku memang dibiayai oleh Ibu yang juga membiayai pendidikanku dari TK hingga perguruan tinggi. Sejak usiaku masih 3 tahun aku sudah ditinggal ayah. Ibu membesarkan aku dan adik perempuanku Ratri hingga besar. Namun segalanya berubah ketika aku menginjak Semester 4 kuliahku. Ibu terserang stroke sehingga terpaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai Buruh Cuci di beberapa rumah di sebuah Perumahan Elit di pinggiran Ibu Kota ini.

Aku akhirnya mengambilalih sebagai pencari nafkah dikeluarga. Karena ketiadaan biaya aku terpaksa merawat Ibu dirumah sambil diterapi di klinik pijat yang tidak jauh dari rumah. Aku pun berusaha bekerja keras sambil tetap kuliah. Beragam profesi sudah kujalani. Mulai dari penjual koran, ngamen di Terminal Bus, sampai menjadi Sales Asuransi.

Inilah awal mengapa kuliahku tersendat. Di semester kedua aku menjalin hubungan asmara dengan Aline. Mahasiswi cantik bintang Kampus putri seorang pejabat di instansi pemerintah ternama. Aku tidak tahu mengapa dia tertarik padaku. Mungkin karena aku pandai memainkan alat musik sambil bernyanyi dengan merdu, dia tertarik padaku. Di sela-sela kuliah aku juga senantiasa berlatih musik sendiri karena sebagai pengamen aku ingin mendapatkan uang lebih dari penumpang. Dari pengalamanku, rata-rata penumpang bus di terminal amat senang apabila aku bisa membawakan lagu dengan teknik suara yang baik dan merdu.

Kejadian tadi rupanya menyadarkan Aline bahwa aku memanglah lelaki yang tidak bisa diharapkan. Akibat keasyikan bekerja untuk menghidupi Ibu dan adikku, kuliahku jadi tersendat. Aku tidak berani mengambil banyak mata kuliah lantaran takut menyita waktu bekerjaku. Akibatnya kuliahku menjadi lama. Sementara Aline mampu menamatkan tiap semester dengan lancar. Lagi pula aku juga bukanlah orang jenius di perkuliahan. Indeks Prestasiku tidak begitu spektakuler meskipun masih diseputar tiga koma. Berbeda dengan Aline yang selalu mendapatkan nilai yang hampir sempurna di tiap-tiap semesternya.

Aku pun sampai di Halte Busway dan kemudian menunggu bus untuk bisa pulang ke rumah. Disaat sedang menunggu bus, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Ternyata Ratri menelepon.

“Dimana Kak?”, katanya sambil menangis.

“Ada apa Ratri? Kakak masih di halte bus. Sebentar lagi pulang”, kataku

“Ibu Kak... Ibu...., jatuh sakit. Sekarang di rumah sakit”, katanya

Aku pun mempercepat langkahku segera menuju ke Rumah Sakit.

Akhirnya Ibu pun di rawat di kelas tiga sesuai dengan Kartu Indonesia Sehat yang dimiliki beliau. Setelah menjalani perawatan selama 2 bulan beliau pun diperbolehkan pulang. Namun dokter menyarankan agar beliau berhenti bekerja sama sekali dari pekerjaan yang sama sekali menguras aktivitas fisik. Praktis, kini semua beban utama untuk mencari nafkah terletak di pundakku. Menyebabkan aku semakin lama semakin tenggelam dalam pekerjaan sehari-hari. Meskipun demikian aku tetap menekuni kuliahku karena Ibu ingin melihat aku diwisuda sebagai Sarjana. Karenanya aku bisa melupakan Aline dan kemauannya untuk putus.

Tiga Tahun Enam Bulan kemudian.....

“Aha!, Ini yang Saya tunggu-tunggu. Ayo masuk mas!”, kata Pak Yanto sambil memperlihatkan muka yang berseri-seri.

Sore itu, aku pun melangkah ke dalam ruangan di Lantai 11 di sebuah Gedung Kantor ternama di Jakarta. Dimana banyak orang berpenampilan rapi dengan jas dan dasi mereka yang duduk dan menatapku. Pak Yanto, pemilik perusahaan itu, memperkenalkan diriku kepada semua yang hadir. Yang ternyata adalah Jajaran Direksi dan Komisaris perusahaan miliknya.

Aku pun mempresentasikan skema pembiayaan yang cocok dengan bisnis perusahaan Pak Yanto. Aku pun menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan menyebutkan banyak referensi bisnis. Semua yang hadir tampaknya puas dengan presentasiku.

 “Jadi bagaimana?”, tanya Pak Yanto. “Apakah kita sepakat dengan skema Project Financing yang ditawarkan Mas Bram ini Bapak-bapak sekalian?”, tanya beliau.

“Kami putuskan bahwa PT Angkasa Energindo akan menggunakan skema Project Financing yang ditawarkan oleh Mas Bram selaku wakil dari PT Investment Indonesia !”, kata Pak Bambang selaku Direktur Utama perusahaan PT Angkasa Energindo milik Pak Yanto.

“Baiklah kalau begitu. Mari sekarang kita langsung tanda tangan MoU saja. Supaya Project Financing ini bisa secepatnya direalisasikan!”, kata Pak Yanto. “Tolong Dyah, Evy dan Nila siapkan draftnya segera!”, perintah Pak Yanto kepada  tiga wanita yang berdiri di pojok ruangan.

Setelah tanda tangan MoU semua yang hadir bertepuk tangan. Kesepakatan bernilai Rp 5 Trilyun itu sudah selesai ditandatangani.

Acara pun dilanjutkan dengan ramah tamah. Semua Direksi dan Komisaris ikut menyalamiku. Termasuk Pak Syamsir, Direktur Keuangan.

“Maaf Mas Bram, saya lupa memperkenalkan pada Mas Bram. Ini Sekretaris Saya yang baru. Baru bergabung 3 bulan yang lalu”, kata Pak Syamsir sambil menunjuk ke seorang wanita berkulit putih, berwajah cantik dan bertubuh ramping. Mengenakan stelan blazer dan celana panjang warna biru tosca dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai.

Aku melihat kearahnya. Wajahnya tidak lagi asing buatku. Ya, dialah Aline. Gadis yang pernah menjadi bagian dari kisah cintaku ketika kuliah dulu.

“Kenalkan, Dyah”, katanya sambil mengulurkan tangannya yang halus. Aku pun mengulurkan tanganku untuk menyalaminya, “Bram”, jawabku singkat.

“Oh ya, Dyah. Pak Bram ini adalah investor strategic kita untuk Proyek Power Plant kita di Kalimantan Selatan. Perusahaannya sudah sepakat menanamkan dana Rp 5 Trilyun untuk proyek ini. Tolong ajak beliau meninjau ruangan perusahaan kita. Terutama informasi terkait dengan proyek yang akan kita bangun dan aspek keuangannya”, demikian perintah Pak Syamsir.

“Baik Pak Bram. Silahkan ikuti saya”, kata Aline sambil mempersilahkan aku untuk mengikutinya.

Aku pun mengikuti langkah Aline menuju ke ruangan sebelah. Di ruangan itu terdapat maket Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang sangat besar dan lengkap dengan foto-foto pembangunan yang tergantung di dindingnya. Aline pun memberikan penjelasan secara lengkap tentang proyek tersebut. Namun aku, entah mengapa, tidak begitu tertarik untuk mendengarkannya.

“Boleh aku bertanya?”, kataku menyela pembicaraan. “Mengapa kamu memperkenalkan dirimu dengan nama Dyah?”, tanyaku.

“Itu masih namaku Bram. Aline Dyahmawati”, katanya namun kali ini dia langsung tertunduk.

“Selamat atas kelulusanmu tiga setengah tahun yang lalu. Seharusnya, aku mengucapkan selamat. Tapi Ibuku waktu itu sakit keras dan dirawat dirumah sakit. Jadi aku belum sempat ke acara wisudamu”, kataku lagi.

“Juga sekali lagi aku ucapkan selamat. Dari yang kudengar, kamu mendapatkan Cum Laude dan diumumkan dalam acara wisuda tersebut mendapatkan Gelar Wisudawan terbaik di kampus kita. Aku ikut bangga padamu”, kataku lagi.

“Terima kasih Bram. Sudah tiga setengah tahun, kamu tetap tidak berubah”, katanya kali ini dengan nada yang merendah.

“Bram”, katanya lagi, “Aku minta maaf”, katanya dengan nada yang sedikit lirih.

“Maaf untuk apa?”, tanyaku sambil berpura-pura keheranan.

“Aku minta maaf, karena waktu itu aku terlalu cepat memutuskan hubungan cinta kita”, katanya. “Seharusnya, aku bersabar karena kamu menunda kuliah bukan karena malas atau bodoh. Tapi lebih kepada keadaan keluarga”, katanya dengan setengah terbata.

“Ah sudah lah”, jawabku. “Itu sudah menjadi masa lalu yang sudah kutinggalkan. Ketika kau melangkah keluar dari Kafe itu, aku sudah menerima keadaan dan memaafkanmu. Meskipun butuh berhari-hari untuk menghilangkan rasa sakitnya”, jelasku. Kemudian, kami pun saling terdiam.

Di saat kami sedang terdiam, tiba-tiba muncul Pak Yanto. Dia memintaku untuk foto bersama dengan seluruh Jajaran Direksi, Komisaris dan juga dirinya sebagai pemilik perusahaan. Tak lupa, dia pun memerintahkan Aline alias Dyah untuk mengurus segala keperluan untuk foto bersama. Selesai acara foto bersama aku pun pamit ke Pak Yanto dan seluruh jajaran Direksi dan Komisaris mengingat hari sudah menjelang malam.

 Aku melangkah ke arah parkiran dimana sebuah sedan buatan pabrikan terkenal asal Jepang keluaran tahun terbaru sudah menunggu lama disana. Segera aku masuk ke dalamnya, memutar kunci dan mengendarainya secara perlahan.

Ketika keluar gedung parkir hujan turun dengan deras. Aku pun mengarahkan kendaraan ku keluar melalui lobi untuk kemudian ke gerbang keluar. Ketika akan melintas lobi kulihat Aline sedang berdiri menunggu disana. Aku pun menghentikan kendaraanku tepat di depannya dan membuka kaca jendela.

“Mau ikut denganku atau ada yang akan menjemput?”, tanyaku dengan suara agak keras.

Aline tidak menjawab dia pun menuju pintu mobilku. Aku membuka kunci otomatis sehingga memudahkan dia masuk ke mobilku.

“Aku antar kamu pulang. Rumahmu masih disana kan?”, tanyaku. Dia pun mengangguk pelan.

Aku pun melajukan mobilku keluar dari gedung kantor tersebut. Sebentar saja aku sudah masuk ke Jalan yang ramai oleh kendaraan.

“Tidak seperti biasanya. Kau banyak terdiam kali ini,” kataku mencoba membuka pembicaraan.

“Bagaimana kabarnya Adam Harsono?”, tanyaku sambil memindahkan tuas gigi transmisi kendaraanku.

“Kamu tahu dari mana, Bram?”, tanyanya kali ini dengan menengokkan kepalanya mengarah kepadaku.

“Jaman sekarang aku bisa melihat profile Facebook-mu. Tertulis kamu sedang menjalin hubungan dengannya”, kataku dengan nada meyakinkan.

“Sudah putus”, jawabnya lagi.

“Wah berarti, kamu harus cepat-cepat up date status tuh!”, kataku sambil tertawa. Tapi dia malah terdiam. Kulajukan kendaraanku agak lebih cepat dari biasanya.

Kemudian, tak lama kemudian mobilku pun berhenti di lampu merah dekat persimpangan menuju rumahnya. Aku pun mulai menyetel radio untuk membuat suasana meriah karena setelah pertanyaan tadi Aline lebih banyak terdiam.

Setelah lampu berubah menjadi hijau aku pun membelokan mobil ke arah rumahnya. Aku mengendarai mobil sambil bersenandung mengikuti irama lagunya Celine Dion yang diperdengarkan oleh radio mobilku. Aline masih terdiam.

“Bram”, katanya secara tiba-tiba. “Apakah kamu sekarang sudah bersama orang lain?”, katanya lagi.

“Ah, bercanda kamu. Mana ada gadis yang mau dengan cowok urakan dan begajulan sepertiku? Jelaslah aku masih sendiri. Tapi itu sekarang bukan persoalan berarti buatku”, kataku dengan nada yang tegas. “Ternyata enak juga menjomblo tapi banyak uang seperti ini”, jelasku kepadanya namun dengan nada seperti mengejek.

“Maukah kamu menerima aku lagi Bram?”, katanya dengan suara perlahan.

Seketika kuinjak rem. Menyebabkan kendaraan berhenti mendadak. Untungnya jalanan dalam keadaan sepi sehingga tidak ada kendaraan yang menabrakku dari belakang.

Aku menepikan kendaraanku dan memberhentikannya.

“Aline tolong dengarkan aku”, kataku. “Semenjak kau pergi dariku waktu itu, bagiku cerita indah soal cinta kita sudah selesai. Pada saat itu secara bersamaan Ibuku masuk Rumah Sakit. Namun setelah kupikir-pikir itulah hikmahnya. Supaya aku dapat cepat melupakanmu dengan mudah.”

“Bagiku engkau adalah masa lalu yang selalu kujadikan pelajaran berharga dalam hidupku. Namun demikian aku sangat berterima kasih kepadamu karena pernah menjadi bagian penting yang mengisi cerita kehidupanku”.

“Maafkan aku Aline. Aku sudah berubah. Aku sudah move on. Tolong kamu hargai keputusanku”, kataku.

Aline terdiam. Kembali kujalankan mobilku menuju rumahnya.

Aku pun berhenti tepat didepan rumahnya. Saat itu hujan sudah reda. Aline pun turun dari kendaraanku dan mengucapkan terima kasih atas kesediaanku mengantarnya.

“Maaf aku gak bisa mampir. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan”, kataku. Sesaat kemudian aku pun melajukan mobilku dan meninggalkannya.

Menjelang tengah malam kuputuskan untuk mampir disebuah restoran 24 jam tempat aku biasa makan. Setelah memesan makanan aku pun duduk tidak jauh dari jendela yang dekat dengan mobilku.

Sesaat kemudian Telepon Genggamku berbunyi. Rupanya ada SMS masuk. Setelah kubuka ternyata dari Aline.

Bram, aku tahu aku telah berbuat salah kepadamu. Tapi apakah kamu harus berbuat sekejam ini kepadaku? Apakah kita tidak bisa bersatu bagai dulu lagi ?

Aku tidak menghiraukan isi SMS tersebut. Setelah pesananku datang aku pun menyantapnya. Setelah selesai dan membayar, aku pun kembali ke rumah.

Sepanjang perjalanan pulang ingatanku kembali kepada masa-masa dimana aku baru saja putus dari Aline. Aku memang mengejar ketinggalan kuliahku sambil mencoba fokus bekerja sebagai Sales Asuransi. Meskipun agak tersendat namun aku berhasil  menamatkan skripsiku setelah 2 semester. Aku berterimakasih kepada Ratri, adikku, yang dengan sabar menghibur hatiku agar aku mencurahkan perhatianku ke kuliah dan pekerjaan serta melupakan kisah cintaku dengan Aline. Tak lupa sering mengingatkanku kalau aku akan mendapatkan Gadis yang lebih baik dari Aline. Di saat yang bersamaan saat itu perusahaan asuransi tempatku bekerja membuka lowongan sebagai Agen Penjual Reksa Dana. Aku pun melamar dan berhasil lulus ujian sertifikasi sebagai Agen Penjual Reksa Dana. Dari situ aku berpindah profesi dari Sales Asuransi menjadi Agen Penjual Reksa Dana.

Dari situlah karirku menanjak dengan cepat. Seiring makin banyaknya reksa dana yang berhasil kujual maka aku pun menjadi incaran perusahaan-perusahaan investasi untuk bisa bekerja pada mereka. Aku pun tidak berpuas diri. Seluruh sertifikasi di bidang Pasar Modal aku raih dalam waktu kurang dari setahun. Mulai dari Wakil Perantara Pedagang Efek, Wakil Penjamin Emisi, dan Wakil Manajer Investasi. Juga tidak ketinggalan Sertifikasi Internasional  di bidang Analis Keuangan berhasil aku raih. Tak heran akhirnya aku berhasil di rekrut oleh PT Investment Indonesia sebagai Direktur di sana kurang lebih setahun yang lalu. Aku berhasil membawa banyak perusahaan untuk Go-Public. Juga banyak perusahaan yang berhasil merestrukturisasi hutang dan bisnisnya melalui tangan dinginku. Sehingga tak heran jika pengusaha sekelas Pak Yanto tertarik untuk berbisnis dengan perusahaanku.

Hari-hari berikutnya, aku lebih memilih sibuk meeting dengan Pak Yanto dan Jajaran Komisaris serta Direksi perusahaannya. Terkadang Aline alias Dyah juga hadir namun hanya membantu mengurus dokumen-dokumen yang menjadi tanggung jawab Pak Syamsir. Aku pun tetap bersikap acuh tak acuh kepadanya dan tidak memberikan kesempatan buatnya untuk mendekat kepadaku.

Aku bersyukur proyek kerjasama investasi ini berjalan dengan mulus. Ternyata Pak Yanto mendorong perusahaan lain di grupnya untuk bekerjasama dengan perusahaanku. Semakin lama bisnis Pak Yanto dan grup perusahaannya semakin berkembang. Membuat rekening bankku makin lama makin bertambah gemuk. Akhirnya aku bisa membawa Ibuku, Ratri dan suaminya keliling Eropa, Asia, Australia, Amerika bahkan Afrika. Tidak lupa kami pun menunaikan Ibadah Haji sekeluarga sebagai bentuk rasa syukur. Seluruh keluargaku menjadikan aku sebagai kebanggaan mereka.

Delapan bulan kemudian .......

Aku menyalaminya. Aline tampak sangat cantik dengan Gaun Pengantin Adat Minang yang dikenakannya. “Selamat”, kataku. “Jadilah istri yang baik buat suamimu”, kataku lagi.

Aline tersenyum getir. Tampak jelas raut penyesalan dari wajahnya. Namun aku sudah bertekad menjadikannya bagian dari masa laluku. Aku pun menghilang dari hadapannya untuk kemudian menuju ke Gedung Parkir.

Kuhidupkan kendaraanku dan ku pacu menuju jalanan ibu kota yang masih sedikit lengang. Sambil mendengarkan Michael-Learns-To-Rock yang mengalun dengan indah ku pacu kendaraanku sambil sesekali menatap langit. Kurasakan Langit Jakarta begitu cerah dan indah! Secerah hatiku yang sedang asyik bersenandung.


Inspired by Short-Story, “Mantan” by Alan Budiman

Jakarta, 30 September 2015