Jumat, 14 November 2014

History Re-Enactment (Bagian Pertama)



Pengantar:
Dalam blog ini, saya mencoba menulis reka ulang sejarah atas beberapa fakta sejarah yang muncul. Tentunya, di dalam penulisan ini saya mencoba memasukan sedikit unsur fiksi yang berasal dari imajinasi saya sendiri. Namun demikian, hal tersebut tidak mengurangi unsur sejarah yag terkandung di dalamnya.
Selamat membaca!

Roma, Tahun 631 Masehi
Deru kaki kuda itu pun mulai terdengar semakin kencang. Kuda yang ditunggangi oleh pria yang berbaju rapi dan berwajah tampan itu mulai memasuki pelataran istana sang Kaisar Romawi. Kemudian berhenti tepat di depan para penjaga. Sang pria itu pun turun dan menerangkan maksud kedatangannya. Mulanya para penjaga tidak akan memberikan izin untuk masuk. Namun melihat dari si pria tersebut membawa surat diplomatik penting, maka mereka mengizinkannya untuk memasuki istana. Tanpa banyak basa-basi segera saja si penunggang kuda tersebut memasuki istana sang kaisar.
Tibalah dia di hadapan Kaisar Romawi yang bernama Heraklius. Setelah memberikan hormat, pria tadi mengeluarkan selembar surat penting. Lengkap dengan cap diplomatik. Surat tersebut disampaikan kepada Kaisar Heraklius.
“Tolong terjemahkan isi surat itu kepadaku, lalu bacakan”, kata sang kaisar. “Aku tidak mengerti Bahasa Arab”, katanya lagi.
Maka dibacakan terjemahan isi surat tersebut,

Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Dari hamba Allah dan Rasul-Nya, Muhammad bin Abdullah
Kepada Heraklius, Kaisar Romawi
Saya menawarkan Islam kepada anda. Karenanya, mari anda bergabung untuk masuk ke dalam Islam. JIka anda tidak menerima Islam, sungguh anda akan menanggung dosa Arius berikut pengikutnya.
Katakanlah, Hai Ahli Kitab, marilah berpegang teguh kepada satu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak ada kita sembah selain Allah dan tidak ada persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan tidak pula sebagian dari kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikan bahwa kami adalah muslim”.

Tertanda,

Muhammad bin Abdullah.

Tersentak Heraklius mendengar isi surat yang dibacakan oleh pria tadi, dimana surat itu menyebut nama Arius!  Yang dia ketahui, nama itu sudah terkubur selama tiga ratus tahun. Tidak ada yang tahu tentang Arius, kecuali para kaisar dan keturunannya. Darimana dia, orang yang bernama Muhammad bin Abdullah dan berasal dari padang pasir yang tandus bisa tahu?

Ingatan Heraklius tertuju ke kejadian tiga ratus tahun yang lalu. Menindaklanjuti Konsili Nisczhea pada tahun 325 Masehi, maka seluruh Romawi sepakat untuk menerima Agama Nasrani yang sudah dimodifikasi sesuai dengan keinginan penguasa Romawi saat itu. Dimana doktrin Agama Nasrani menetapkan bahwa ada Trinitas yang merupakan satu kesatuan. Yakni Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus. Tuhan Bapak adalah Allah, Tuhan Anak adalah Yesus. sedangkan Roh Kudus adalah Tuhan Pembawa Wahyu. Hasil konsili menetapkan bahwa doktrin tersebut merupakan dogma yang tidak boleh dibantah apalagi dipertanyakan. Barang siapa yang menentang dogma tersebut maka akan disebut sesat dan di cap sebagai pemberontak negara yang sangat berbahaya.

Seluruh rakyat menerima dogma tersebut dan ramai-ramai memeluk agama baru yang sudah di modifikasi tersebut. Semua menerima, kecuali seorang pendeta bernama Arius. Arius menentang dogma tersebut. Arius berkeyakinan bahwa Tuhan adalah Satu. Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan Yesus. adalah utusan-Nya kepada umat manusia. Tidak mungkin, utusan Tuhan menjadi Tuhan. Bahkan, Yesus sendiri menegaskan dalam Kitab Injil, bahwa beliau hanya Nabi dan Rasul-Nya.

Mulanya dakwah Arius dianggap sebagai angin lalu oleh penguasa. Namun lama kelamaan menjadi gerakan dakwah yang meluas dan mendapatkan dukungan. Ditambah lagi sikap pemerintahan Kaisar Romawi yang cenderung suka menindas dan korup, pejabatnya hidup bermewah-mewahan sementara rakyatnya banyak yang hidup miskin dan menderita, pajak yang tinggi namun rakyat tidak sejahtera, dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya maka banyak orang bergabung dengan gerakan Arius ini. Di berbagai tempat, Arius menyampaikan dakwahnya. Agar manusia kembali menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan mengimani Yesus sebagai Nabi dan Rasul-Nya, juga tidak lupa untuk menjalankan seluruh ajaran beliau yang memuat kesetaraan kedudukan seluruh manusia dihadapan Tuhan.

Tentu saja penguasa Romawi berang. Mereka mulai mencoba segala cara untuk membungkam dakwah Arius. Mulai dari cara halus dengan bujuk rayu dan iming-iming kekayaan hingga cara kasar yaitu dengan penangkapan dan penjara. Namun ternyata, penjara bukanlah halangan bagi Arius dan pengikut setianya untuk mendakwahkan hal yang benar. Akhirnya, Kaisar Romawi mengeluarkan titah yang tidak boleh dibantah. Arius dan Pengikutnya wajib dibunuh tanpa kecuali. Termasuk anak keturunan bahkan bayi yang baru lahir pun juga wajib dibunuh!

Arius dan pengikutnya akhirnya dieksekusi dengan kejam. Hari-hari berikutnya, selama tujuh tahun ke depan terjadi perburuan terhadap para pengikut ajaran Arius. Mereka yang tertangkap lalu dibunuh secara keji. Bukan saja dibunuh, namun buku-buku mereka di rampas untuk kemudian dibakar. Selama empat puluh tahun, pembersihan dan pembasmian terhadap ajaran Arius bersifat sistematis dan masif. Sehingga, lima puluh tahun kemudian, seluruh rakyat Romawi sudah melupakan Arius dan ajarannya. Nama Arius hanya tersebar di kalangan Kaisar dan keturunannya. Bukan bermaksud untuk mempelajari ajarannya, namun lebih menitikberatkan kepada kebencian akan ajaran Arius yang dianggap sesat dan menyimpang.

Heraklius masih terpana. Tatapan matanya kosong. Namun otaknya berpikir keras. Mengapa seorang Arab yang berasal dari tanah padang pasir nan tandus, hidup ditengah suku yang barbar, dan tidak bisa membaca dan menulis, bahkan surat yang disampaikannya pun ditulisi orang lain, mengenal nama Arius? Bahkan nama itu sudah terkubur selama tiga ratus lalu, namun mengapa si orang Arab bernama Muhammad bin Abdullah dan mengaku sebagai utusan Tuhan itu malah mengetahuinya? Dijaman itu, buku-buku sangat terbatas. Jarak antara Roma dengan Madinah di Jazirah Arab hampir dua bulan perjalanan dengan berkuda. Belum ada telepon, faksimili apalagi internet. Mengapa dia begitu mengenal Arius?

Dalam hati, Heraklius berkecamuk perasaan lain. Dia, Muhammad bin Abdullah, mengaku sebagai utusan Tuhan. Sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Tentu saja hal itu benar, sebab tidak ada seorang pun yang tahu siapa Arius. Jangankan orang diluar Romawi, di dalam Romawi pun tidak mengenal siapa Arius. Darimana dia tahu siapa Arius kalau bukan dari Tuhan yang mengutusnya? Ya, dia pasti utusan Tuhan sebagaimana yang tertera dalam Kitab Injil. Heraklius masih ingat, meskipun Kitab Injil sudah mengalami banyak modifikasi namun masih terselip ayat-ayat yang bercerita tentang utusan Tuhan yang terakhir. Ya, pastilah dia orangnya.

Namun tiba-tiba ada perasaan yang lain menyergah hatinya. Apa jadinya jika seorang Kaisar Romawi, sang penguasa benua biru, yang memiliki ratusan ribu bala tentara yang ditakuti seluruh dunia, tiba-tiba harus mengikuti ajaran baru dari tanah padang pasir nan tandus dan gersang, bahkan sang tokoh pun tidak bisa membaca dan menulis? Mau ditaruh dimana kehormatan dan keagungan kekaisaran Romawi jika Heraklius mengikuti ajaran Muhammad bin Abdullah, orang yang berasal dari padang pasir yang tidak punya apa-apa selain beberapa pengikut setia? Lalu apa kata dunia, jika Heraklius Sang Kaisar Romawi yang perkasa sekaligus penguasa Tanah Benua Eropa,  tunduk dan patuh kepada seorang dari Tanah Arab yang bukan siapa-siapa itu?

Pikiran dan perasaan Heraklius berkecamuk. Batinnya tidak tenang. Antara menerima atau menolak ajaran dari Muhammad bin Abdullah tersebut. Hatinya bercampur antara galau dan bimbang. Namun entah mengapa ada keberanian untuk berkata-kata. Dia pun berujar kepada sang utusan, “Sampaikan kepada Nabi anda bahwa saya menolak ajarannya. Namun demikian, anda saya perlakukan dengan baik layaknya tamu Kaisar yang lain”.

“Baiklah tuan kaisar. Terima kasih. Namun saya sama sekali tidak punya kepentingan disini. Oleh karena itu, Saya mohon pamit”, demikian kata sang utusan kemudian dia pun pergi.

Heraklius pun hanya memandangi sang utusan melangkah pergi. Dia masih berpikir. Antara percaya dan tidak percaya dia telah menolak ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdullah tersebut. “Suatu hari, ajarannya akan sampai ditempat aku berdiri”, demikian gumamnya. Namun entah mengapa rasa enggan tersebut masih ada.
 
Heraklius kembali duduk di singgasanannya. Dia masih galau. Perasaannya campur aduk tidak karuan. Dia merasa, hari-hari kedepan sampai dengan ajalnya akan dipenuhi perasaan yang lain. Sebuah kegalauan hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Kini, dia hanya termangu, menantikan hari-hari yang panjang dengan perang perasaan di dalam hati yang tak pernah terbayangkan sebelumnya!