Rabu, 16 September 2009

Memaknai Idul Fitri

Sebentar lagi Ramadhan yang mulia akan meninggalkan kita. Tak terasa pula kita akan memasuki hari dimana banyak orang sering memaknai sebagai hari kemenangan. Namun bagi saya, istilah "kemenangan" sebenarnya kurang tepat. Karena "kemenangan" yang sesungguhnya adalah manakala kita dijauhkan oleh Allah swt. dari siksa neraka-Nya dan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Lebih tepat apabila hari setelah kita berpuasa satu bulan dinamakan Idul Fitri.

Secara harfiah kata "Idul Fitri" berarti kembali kepada kesucian. Suci disini lebih kepada suci jiwa dan hati. Suci dari segala kotoran jiwa seperti malas, tidak profesional, asal-asalan dalam bekerja, tidak rapih dan sebagainya juga suci dari segala penyakit hati seperti iri, dengki, hasud, dendam, pemarah dan lain-lainnya. Kesucian yang akan diraih pada hari Idul Fitri adalah wajar karena selama satu bulan kita ditempa untuk menegakkan nilai-nilai ibadah ramadhan. Yang bukan saja mengajarkan kita untuk menahan diri dari makan dan minum saja tapi juga kecenderungan kepada hawa nafsu yang merusak.

Saya tidak akan membahas fenomena masyarakat kita pada saat Idul Fitri. Rasanya terlalu banyak tulisan, artikel maupun komentar yang termuat di media lainnya. Namun semuanya mengarah kepada sebuah keprihatinan. Prihatin, lantaran kesucian Idul Fitri harus ternoda karena sikap hedonis yang dipertontonkan sebagian masyarakat. Bahkan ada disebuah wilayah di Jawa Barat beberapa tahun lalu penduduk dua desa saling berkelahi seusai shalat id karena hal sepele. Karena sudah terlalu banyak yang telah membahasnya maka saya lebih memfokuskan pada makna dari Idul Fitri itu sendiri.

Seharusnya, ketika seseorang telah ditempa oleh ujian dan latihan selama satu bulan ramadhan maka dia akan menjadi lebih ikhlas, sabar dan teguh pendirian. Dia juga lebih mampu mengendalikan hawa nafsunya dan mampu mengarahkan hawa nafsunya kepada hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia juga mampu untuk berempati kepada masyarakat lainnya. Meningkatkan kepekaan sosial dan menjadi manusia yang mampu berguna bagi manusia lainnya. Hal-hal seperti inilah yang sewajarnya di peroleh manakala Idul Fitri tiba.

Sebagai bahan perbandingan, marilah kita contoh kehidupan para shahabat Rasulullah Saw. Mereka benar-benar menggembleng diri mereka dalam ujian dan latihan Ramadhan. Setiap ramadhan tiba minimal satu kebiasaan atau sifat buruk dapat dibuang. Sehingga manakala Idul Fitri tiba mereka telah berhasil meninggalkan minimal satu sifat atau kebiasaan buruk tersebut. Hal ini berlangsung secara terus-menerus disetiap Ramadhan dan Idul Fitri. Sehingga tidak heran kalau mereka menjadi generasi yang unik dan penuh prestasi. Baik prestasi duniawi maupun prestasi ibadah.

Bagaimana dengan kita ? Apakah pada saat Idul Fitri datang kita telah berhasil membuang minimal satu kebiasaan atau sifat buruk kita ? Ataukah kita juga ikut terlarut dalam gaya hidup hedonistis yang dipertontonkan oleh sebagian besar masyarakat kita ? Jawabannya tentu hanya Allah dan kita saja yang tahu.

Wallahua'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar